Bisnis.com, JAKARTA - Seluruh pasar komoditas berjangka, kecuali emas tampaknya akan kembali berjalan dalam tekanan pada tahun ini. Tekanan datang dari dampak turunan virus corona yang menjadi awan gelap bagi pertumbuhan ekonomi China, Jepang, hingga AS.
Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun berjalan 2020, mayoritas harga komoditas utama kompak parkir di zona merah. Pelemahan terbesar dipimpin oleh harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) di bursa Nymex yang turun 14,43 persen, diikuti oleh minyak sawit atau crude palm oil (CPO) di bursa Malaysia yang turun 12,53 persen.
Nikel yang menjadi komoditas dengan kinerja terunggul pada tahun lalu pun kini terkoreksi cukup tajam hingga 10,66 persen secara year to date. Menyusul nikel, seng juga melemah 6,91 persen sepanjang tahun berjalan ini, kemudian tembaga terkoreksi 6,62 persen, dan aluminium turun 5,33 persen.
Tidak hanya itu, penyebaran virus corona yang telah menjadi sentimen negatif sejak awal tahun telah mengantarkan beberapa komoditas ke level terendah. Seng di bursa London pada perdagangan (21/2/2020) menyentuh level US$2.112 per ton, terendahnya sejak Oktober 2016.
Pun demikian dengan tembaga, di bursa London pada perdagangan (3/2/2020) menembus level US$5.525 per ton, level terendahnya sejak Mei 2017. Adapun harga minyak WTI sempat menyentuh level US$49,78 per barel pada perdagangan (10/2/2020), level terendah sejak Januari 2019.
Sementara itu, pada perdagangan Senin (24/2/2020) hingga pukul 15.33 WIB, harga minyak WTI melemah 3,17 persen di level US$51,69 per barel sedangkan harga CPO turun 1,6 persen menjadi 2.580 ringgit per ton.
Baca Juga
Dalam perdagangan yang sama, harga tembaga susut 1,26 persen menjadi US$5.690 per ton, harga aluminium melemah 0,82 persen ke level US$1.697 per ton, nikel terkoreksi 0,5 persen ke US$12.512 per ton, dan seng terkulai 2,49 persen menjadi US$2.052 per ton.
Pasar komoditas berjangka sulit untuk keluar dari belenggu pelemahan meskipun Pemerintah China sebagai importir dan eksportir komoditas terbesar dunia telah menggelontorkan sejumlah stimulus untuk menggairahkan permintaan.
Pemerintah China telah mengeluarkan stimulus fiskal yang akan mencakup percepatan proyek konstruksi, yang seharusnya menguntungkan logam. Adapun, sebagian besar tambang batu bara dan kilang minyak kini telah memulai kembali berproduksi.
Namun, sentimen-sentimen itu tidak cukup kuat mengalahkan kekhawatiran pasar terhadap ancaman virus itu yang menyebar lebih luas di luar China. Perluasan penyebaran itu telah meningkatkan ancaman pandemi global, bahkan mayoritas bank sentral melihat adanya risiko penurunan ekonomi dunia terus berlangsung.
Ekonom Oversea-Chinese Banking Corp Singapura Howie Lee mengatakan bahwa penyebaran virus corona atau covid-19 ke Italia dan Korea Selatan telah mengancam pertumbuhan ekonomi yang semula diproyeksi bergerak lebih baik pada tahun ini.
“Ketakutan itu kini semakin mendorong harga emas bergerak lebih tinggi, dan menjauhkan investor dari aset berisiko,” ujar Howie seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (24/2/2020).
Analis BCS Global Markets Kirill Chuyko mengatakan bahwa bahkan ketika kota-kota industri China mulai mengurangi pembatasan pergerakan orang untuk memulihkan produksi, dalam jangka pendek gangguan produksi di China kemungkinan akan berlanjut selama beberapa bulan.
“Gangguan produksi itupun tentu akan mempengaruhi permintaan dan pasokan untuk logam serta komoditas pertambangan lainnya sehingga dapat dipastikan harga komoditas itu belum berbalik menguat,” ujar Kirill Chuyko.
Analis PT Monex Investindo Futures Andian mengatakan dalam publikasi risetnya bahwa kekhawatiran yang dipicu oleh penyebaran wabah corona di beberapa negara selain China, seperti Korea Selatan dan Jepang, berpotensi membatasi tingkat permintaan terhadap minyak mentah untuk menjalankan produksi.
“Harga minyak masih berpotensi turun menguji level support US$50,85 per barel hingga US$51,65 per barel. Bila bergerak ke atas level resisten US$52,60, minyak berpeluang menguji level US$52,85 per barel hingga US$53,15 per barel,” ujar Andian seperti dikutip dari publikasi risetnya, Senin (24/2/2020).
Aliansi OPEC+ yang dipimpin oleh Arab Saudi saat ini tengah berjuang untuk menyepakati tanggapan kolektif untuk memangkas produksi dan membuat pertemuan darurat lebih awal di tengah oposisi dari Rusia.
Analis memperkirakan OPEC+ akan melanjutkan pemangkasan dengan total produksi yang turun lebih tajam. Untuk diketahui, sebelumnya OPEC dan sekutunya telah menyepakati untuk memangkas produksi minyak hingga 2,1 juta barel per hari yang akan berakhir pada Maret 2020.
Perbandingan Kinerja Komoditas Berjangka Utama ;
Komoditas | Harga | Pergerakan Senin (24/2/2020)* | Pergerakan YTD |
Minyak WTI | US$51,6 per barel | -3,17% | -14,43% |
CPO | 2.580 ringgit per ton | -1,6* | -12,53% |
Nikel | US$12.512 per ton | -0,5% | -10,66% |
Seng | US$2.052 per ton | -2,49% | -6,91% |
Tembaga | US$5.690 per ton | -1,26% | -6,62% |
Aluminium | US$1.697 per ton | -0,82% | -5,53% |
Keterangan: *Pergerakan Senin (24/2/2020) hingga pukul 15.33 WIB
Sumber: Bloomberg