Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti FOMC Desember, Rupiah Terdepresiasi

Pada perdagangan Kamis (12/12/2019), rupiah diperkirakan masih bergerak melemah di kisaran Rp13.990 per dolar AS hingga Rp14.070 per dolar AS.
Karyawan bank memperlihatkan uang pecahan Dolar AS dan Rupiah di Jakarta, Senin (7/1/2019)./ANTARA-Rivan Awal Lingga
Karyawan bank memperlihatkan uang pecahan Dolar AS dan Rupiah di Jakarta, Senin (7/1/2019)./ANTARA-Rivan Awal Lingga

Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah ditutup melemah pada perdagangan Rabu (11/12/2019) bersama dengan mayoritas mata uang Asia lainnya seiring dengan pasar yang menanti pertemuan kebijakan moneter The Fed.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp14.038 per dolar AS, melemah 0,13% atau 18 poin. Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama bergerak menguat 0,1% menjadi 97,508.

Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa pasar menanti pertemuan The Fed dan perkembangan perdagangan AS dan China sehingga pergerakan tampak lebih berhati-hati.

“Proyeksi terbaru dari para pembuat kebijakan The Fed untuk ekonomi AS dan suku bunga akan menjadi fokus utama untuk menilai apakah mereka berpikir pemotongan suku bunga sejauh ini cukup untuk menjaga ekonomi bergulir selama satu tahun lagi,” ujar Ibrahim dalam keterangan resminya, Rabu (11/12/2019).

Dia memproyeksi pada perdagangan Kamis (12/12/2019) rupiah masih bergerak melemah di kisaran Rp13.990 per dolar AS hingga Rp14.070 per dolar AS.

Sinyal Negosiasi Dagang

Selain itu, belum ada kemajuan yang berarti terkait perdagangan AS dan China sehingga pasar pun masih mencari sinyal lebih baik terkait dengan penundaan batas waktu pengenaan kenaikan tarif impor AS untuk China.

Kepala Ekonomi dan Strategi Mizuho Bank Singapura Vishnu Varathan mengatakan bahwa rupiah bergerak turun karena investor menyaring sinyal yang bertentangan dari AS dan China terkait kemungkinan penundaan batas waktu tarif 15 Desember untuk tarif yang lebih tinggi.

"Saya tidak yakin dengan hal ini, begitu juga pasar rupiah. Tampaknya rupiah akan konsolidasi hati-hati hingga kepastian perang dagang,” ujar Vishnu seperti dikutip dari Bloomberg.

Namun, Analis DBS, termasuk Chang Wei Liang dan Duncan Tan, dalam risetnya mengatakan bahwa rupiah dapat mempertahankan popularitasnya mengingat kebijakan moneter Indonesia yang relatif stabil sehingga membantunya untuk mendapatkan kekuatan kembali.

“Di tengah volatilitas perdagangan mata uang Asia yang cenderung sudah sepi di akhir tahun, rupiah terlihat sebagai tempat terbaik untuk mendapatkan keuntungan mengingat imbal hasil obligasinya yang menarik,” tulis DBS dalam risetnya.

Tercatat, imbal hasil obligasi Indonesia untuk tenor 10 tahun sedikit berubah menjadi 7,13%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Ana Noviani

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper