Bisnis.com, JAKARTA -- Peluang terjadinya window dressing pada akhir tahun ini dinilai sangat besar. Pasalnya valuasi saham pada tahun ini terbilang sudah murah.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana juga meyakini bahwa potensi window dressing pada akhir tahun nanti terbuka lebar.
“[Window dressing] masih terbuka lebar sekali karena valuasi saham-saham bluechip kita saat ini relatif murah. Apalagi kalau dibandingkan tahun lalu,” jelas Wawan kepada Bisnis, baru-baru ini.
Wawan melanjutkan bahwa dari laporan keuangan emiten kuartal III/2019 yang sudah dirilis, beberapa emiten berkapitalisasi besar (big caps) telah menunjukkan perbaikan kinerja. Seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang mencatatkan pertumbuhan laba yang lebih baik dari perkiraan sebesar 13% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp20,92 triliun pada kuartal III/2019.
Hal itu, menurut Wawan, bisa menjadi sentimen yang kuat bahwa hingga akhir kuartal IV/2019 nanti kinerja emiten bluechip bisa lebih baik lagi dan akan banyak diburu oleh investor.
Adapun secara sektoral, saham-saham keuangan dari perbankan dinilai akan banyak dilirik. Pasalnya, saham perbankan yang merupakan big caps memiliki bobot yang besar terhadap pergerakan IHSG.
Baca Juga
Selain itu, saham sektor telekomunikasi juga dinilai menarik diikuti oleh saham sektor barang konsumer dan semen.
“Kalau secara fundamental tahun ini dengan suku bunga turun, paling mungkin saham keuangan yang akan diincar,” tutur Wawan.
Dengan demikian, Infovesta Utama memperkirakan IHSG bisa kembali menuju 6.500 pada akhir tahun nanti. Secara rata-rata, lanjut Wawan, IHSG pada Desember biasanya naik sebesar 3% dalam sedekade terakhir.
Adapun, kinerja indeks reksa dana saham masih menjadi yang terburuk sejak awal tahun (year-to-date/ytd). Berdasarkan data Infovesta Utama, kinerja indeks reksa dana saham yang tercermin lewat Infovesta Equity Fund Index menjadi satu-satunya yang berada di zona merah sebesar -7,63%.
Edward Lubis, Presiden Direktur Bahana TCW Investment Management, mengungkapkan bahwa saat ini manajer investasi memang kesulitan untuk mengalahkan IHSG.
Hal itu juga disebabkan oleh pelemahan saham-saham big caps yang banyak dikelola oleh fund manager.
“[Tekanan dari big caps] paling terasa selama 2 tahun terakhir karena hampir semua reksa dana saham yang mainstream pasti 10 besar portofolionya berasal dari big caps,” ujarnya.