Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sudah Empat Perdagangan Berturut-turut Nikel Terkapar di Zona Merah

Perlambatan ekonomi China menjadi salah satu faktor terpukulnya harga nikel.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA -- Nikel melanjutkan pelemahan dan terkapar di zona merah selama empat perdagangan berturut-turut di tengah meredanya kekhawatiran pasar terhadap tekanan pasokan.

Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Senin (21/10/2019), nikel di bursa LME terdepresiasi 0,8 persen menjadi US$16.100 per ton. Pada pertengahan perdagangan, nikel sempat menyentuh level US$16.050 per ton, level terendahnya sejak 29 Agustus 2019.

Sementara itu, pada perdagangan Selasa (22/10) hingga pukul 14.28 WIB, harga nikel melemah 0,06 persen menjadi US$16.077,5 per ton.

Mengutip riset China Futures, kekhawatiran pasar terhadap pasokan semakin mereda sehingga nikel mengalami penurunan dalam beberapa perdagangan terakhir.

“Bahkan, perdagangan nikel di China juga diredam karena para pedagang mengawasi tren harga yang terus terkoreksi,” tulis China Futures dalam risetnya seperti dilansir Bloomberg, Selasa (22/10).

Menambah sentimen negatif pada nikel, pertumbuhan ekonomi China tercatat melambat dan hanya mencapai level 6 persen pada kuartal ketiga tahun ini. Melambatnya pertumbuhan konsumen logam terbesar di dunia tersebut telah membayangi prospek permintaan nikel.

Adapun stok nikel di gudang SHFE naik ke level tertinggi sejak 30 Agustus 2019, menjadi 23.993 ton pada perdagangan Jumat (18/10). Kendati demikian, persediaan nikel di bursa LME terus menurun dan mendekati level terendah sejak akhir 2011.

Oleh karena itu, Analis PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan mengatakan pihaknya optimistis risiko kenaikan harga nikel global akan datang, baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Dia memperkirakan inventaris nikel di bursa LME akan terus turun sehingga membantu nikel untuk melanjutkan laju bullish yang telah terjadi hampir sepanjang tahun berjalan 2019.

“Sementara itu, sinyal bagus dari kesepakatan perdagangan AS dan China akan menjadi risiko kenaikan harga dari sisi permintaan,” tulis Andy seperti dikutip dari publikasi risetnya, Selasa (22/10).

Seperti diketahui, nikel menjadi komoditas dengan kinerja penguatan terbaik sepanjang tahun berjalan 2019. Secara year-to-date (ytd), nikel telah bergerak 50,61 persen dibayangi sentimen tekanan pasokan.

Apalagi, ketika Indonesia yang merupakan salah satu produsen nikel terbesar dunia memajukan kebijakan larangan ekspor bijih nikel 2 tahun lebih awal dari rencana, yaitu mulai berlaku pada awal tahun depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper