Bisnis.com, JAKARTA -- Protes di tambang Chile membantu memberikan momentum reli terhadap harga tembaga yang tertekan dalam beberapa perdagangan terakhir.
Namun, reli dinilai tidak akan bertahan lama karena investor masih dibayangi kekhawatiran terkait lemahnya permintaan.
Protes anti pemerintah yang telah mengguncang negara penghasil tembaga terbesar dunia, Chile, selama tiga hari terakhir telah menyebar ke sektor pertambangan seiring dengan seruan mogok kerja dari serikat pekerja tambang.
Para pekerja di tambang Escondida milik BHP Ltd, perusahaan tembaga terbesar di dunia, akan melakukan aksi mogok kerja selama 10 jam sebagai bentuk solidaritas terhadap protes yang terjadi di seluruh negeri. Hal itu akan menghentikan operasional tambang tersebut sehingga berisiko mengganggu pasokan.
Selain itu, serikat pekerja tambang lainnya seperti Federasi Serikat Mineral Antofagasta (FESAM), Federasi Pengawas Penambangan Swasta, dan Federasi Pekerja Profesional Codelco FESUC yang tergabung dalam CTMIN juga ikut melakukan aksi mogok kerja.
Organisasi lain yang menandatangani pernyataan aksi mogok kerja termasuk federasi pertambangan FMC, yang mencakup serikat pekerja dari Collahuasi, Los Bronces Anglo American, Quebrada Blanca Teck, Los Pelambres Antofagasta dan Zaldivar, El Abra Freeport, dan Spence BHP.
Baca Juga
Tidak hanya tambang tembaga yang terganggu operasionalnya akibat protes tersebut, kini pelabuhan yang menangani pengiriman tembaga pun sudah terkena imbasnya.
Union Portuaria de Chile, serikat pekerja di pelabuhan, mengatakan para pekerja di 20 pelabuhan Chile akan meninggalkan pos pekerjaan untuk bergabung dengan demonstrasi.
Beberapa pelabuhan yang menangani pengiriman tembaga dan terkena dampak demonstrasi antara lain pelabuhan Iquique, Tocopilla, Antofagasta, dan Ventanas. Bahkan, San Antonio, pelabuhan terbesar di negara itu, juga telah terkena dampak.
Kerusuhan, protes, dan penjarahan yang terjadi hampir di seluruh kota besar Chile telah menewaskan 8 orang dan sekitar 1.500 orang ditangkap. Protes anti pemerintah ini bermula dari kenaikan tarif Metro dan memicu kerusuhan sehingga mendorong masyarakat terhadap reformasi ekonomi Chile.
Mengutip riset ANZ, harga tembaga berhasil rebound ketika aksi mogok di Chile berlanjut, mengingat negara tersebut memproduksi sekitar sepertiga dari pasokan logam merah dunia.
Analis BMO Capital Markets Colin Hamilton menyampaikan jalan utama dan jalan raya di sekitar Santiago telah ditutup sehingga menjadi gangguan bagi arus pelabuhan yang signifikan.
“Ini menjadi yang dukungan jangka pendek untuk harga tembaga," ujarnya seperti dilansir Bloomberg, Selasa (22/10/2019).
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (21/10), harga tembaga di bursa LME ditutup di level US$5.828 per ton setelah menguat 0,38 persen.
Sementara itu, pada pertengahan perdagangan, tembaga sempat menyentuh level tertingginya dalam perdagangan satu bulan terakhir di level US$5.837,5 per ton, level yang belum disentuh sejak 20 September 2019.
Meski menguat, sesungguhnya harga tembaga saat ini, masih bergerak di dekat level terendahnya dalam 2 tahun terakhir. Seperti diketahui, tembaga berada dalam kelesuan sejak Presiden AS Donald Trump memulai perang tarif dengan China yang berdampak pada perlambatan ekonomi global.
Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal ketiga tahun ini hanya sebesar 6 persen, menjadi pertumbuhan terlemah sejak 1990-an dan telah membayangi sentimen permintaan tembaga. Negeri Panda merupakan konsumsi logam terbesar di dunia.
Kendati demikian, Analis Morgan Stanley Susan Bates optimistis harga tembaga akan naik pada tahun depan akibat proyeksi ketatnya pasokan.
Tanpa gangguan dari Chile pun, kekurangan pasokan logam tersebut dinilai akan mendorong harga lebih tinggi pada tahun depan seiring dengan proyeksi pulihnya permintaan sehingga pasar menuju defisit.
“Pemogokan yang berkepanjangan bisa menjadi bensin untuk panasnya harga tembaga,” tuturnya.
Morgan Stanley memperkirakan harga tembaga dapat menyentuh level US$6.454 per ton pada 2020. Hal ini seiring dengan proyeksi naiknya permintaan global sebesar 1,9 persen, melampaui pertumbuhan pasokan tambang yang sebesar 0,9 persen.
Defisit pun diperkirakan berada di kisaran 350.000 ton, sehingga membawa kenaikan harga.