Bisnis.com, JAKARTA - Indeks Harga Saham Gabungan mengakhiri pekan ini di zona merah. Pemangkasan suku bunga yang sesuai dengan perkiraan tak mampu memberikan tambahan tenaga ke dalam laju indeks.
Berdasarkan data Bloomberg, IHSG terdepresiasi 0,21 persen ke level 6.231 pada akhir perdagangan Jumat (20/9/2019). Selama sepekan, indeks tertekan 1,63 persen dan secara year-to-date masih tumbuh 0,60 persen.
Enam dari sembilan sektor berakhir di zona merah, dipimpin oleh sektor industri dasar dan sektor perdagangan yang masing-masing turun 0,75 persen dan 0,65 persen.
Sementara tiga sektor lainnya ditutup menguat, dipimpin sektor infrastruktur yang naik 1,21 persen.
Adapun, pada awal pekan ini IHSG telah anjlok akibat respons pelaku pasar atas kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun depan.
Analis Binaartha Sekuritas M. Nafan Aji Gusta Utama menyampaikan, minimnya sentimen positif dari domestik yang disertai aksi ambil untung (profit taking) membuat pergerakan IHSG berakhir di zona negatif pada akhir pekan ini.
Baca Juga
"Untuk net sell asing juga masih mengalami kenaikan," katanya kepada Bisnis, Jumat (20/9/2019).
Adapun, investor asing tercatat melakukan aksi jual (net sell) senilai Rp833,82 miliar sepanjang hari perdagangan. Sejak awal tahun, investor asing masih mencatatkan beli bersih (net buy) senilai Rp49,42 triliun.
Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi menambahkan, penguatan saham-saham pertambangan juga menahan pelamahan IHSG.
"Saham-saham penambang logam. naik, seperti INCO [4,61 persen] dan TINS [3,70 persen] setelah [harga] komoditas tambang logam rebound," tulisnya dalam riset harian.
Adapun, prospek pelarangan impor tambang logam di Indonesia dinilai Lanjar bakal membawa dampak kenaikan harga komoditas tersebut.
PENGARUH MONETER
Adapun, pascapenurunan suku bunga dari bank sentral utama dunia, bursa di kawasan Asia ditutup bervariasi pada akhir pekan ini. Lanjar mengatakan, kini perhatian investor cenderung beralih dari kebijakan moneter ke perkembangan perang dagang antara AS--China.
Sementara itu, Analis MNC Sekuritas Muhamad Rudy Setiawan menjelaskan, pemangkasan suku bunga yang dilakukan Bank Sentral AS (Federal Reserve) yang diikuti oleh Bank Indonesia (BI) pada Kamis (19/9/2019) memang tak akan secara langsung berdampak ke pasar saham.
Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga sebanyak 3 kali pada tahun ini, sehingga 7-Day Reserve Repo Rate kini berada di level 5,25 persen.
“Harus tetap melihat dari perkembangan industri yang terjadi pada sisa akhir tahun ini, sampai dengan semester I/2020,” kata Rudy kepada Bisnis.
Adapun, pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral AS (Federal Reserve) yang diikuti oleh Bank Indonesia (BI) dipandang lebih sebagai langkah untuk mencegah ancaman risiko resesi global sebagai akibat dari perang dagang AS—China. Penurunan suku bunga tersebut juga telah diantisipasi dan sesuai dengan perkiraan pelaku pasar.
Di tengah ancaman perlambatan global, bank sentral utama dunia mulai memangkas suku bunga untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Pekan lalu, Bank Sentral Eropa (European Central Bank) telah lebih dulu memotong suku bunga ke zona negatif sebesar -0,50 persen.
Sejauh ini, perlambatan pertumbuhan ekonomi global mulai terlihat dari melemahnya data makroekonomi seperti hasil industri (output) di China yang hanya tumbuh 4,4 persen secara tahunan (year-on-year) atau terendah sejak 17 tahun terakhir.
Selain itu, Bank Dunia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini hanya akan sebesar 2,9 persen dan terus akan melambat pada tahun depan menjadi 2,8 persen.
Dari dalam negeri, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada paruh pertama tahun ini yang hanya tumbuh sebesar 5,05 persen dari posisi 5,27 persen pada periode yang sama tahun lalu juga memperlihatkan bahwa melesunya ekonomi global mulai terasa.
Sementara itu, Analis Bahana Sekuritas Muhammad Wafi menjelaskan, pelemahan IHSG juga tertekan oleh arus modal keluar (foreign capital outflow). Pasalnya, investor asing cenderung melakukan flight-to-safety atau mengamankan asetnya ke negara maju, seperti AS, yang dinilai lebih aman.
Selain itu, pelemahan harga komoditas juga menjadi pemberat langkah emiten komoditas. Pasalnya, ekspor komoditas Indonesia masih besar, seperti minyak sawit, nikel, dan timah. Selain itu, dampak penyerangan kilang minyak di Arab Saudi juga turut mengancam defisit neraca berjalan (CAD) Indonesia.
“[Pelemahan] dari sisi harga komoditas, ketika FFR diturunkan 25 bps, kami juga lihat emiten komoditas rata-rata turun kecuali mineral,” tutur Wafi.
Wafi memperkirakan ke depannya masih terbuka kemungkinan untuk bank sentral kembali memangkas suku bunga. Adapun, The Fed diperkirakan masih berpotensi menurunkan suku bunga sebanyak 1 kali lagi menjelang akhir tahun.
“Kemungkinan hanya satu kali lagi saja. Total [tahun ini] tiga kali,” im