Bisnis.com, JAKARTA - Mayoritas saham emiten rokok dibuka melemah pada awal perdagangan Senin (16/9/2019). Bahkan, saham PT HM Sampoerna Tbk. dan PT Gudang Garam Tbk. turun hingga dua digit.
Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (16/9/2019) pukul 09.39, saham PT HMSP dan GGRM masuk dalam deretan top losers. Saham GGRM turun 18,10% ke level Rp56.350, sedangkan saham HMSP turun 16,79% ke level Rp2.330.
Sementara itu, saham PT Wismilak Inti Makmur Tbk. turun 8,17% ke level Rp191. Hanya saham PT Indonesian Tobacco Tbk. yang menguat Rp1,25% ke level Rp810. Adapun, saham PT Bentoel International Investama Tbk. stagnan di level Rp340.
Sebelumnya, sejumlah analis menyebut kenaikan tarif cukai dengan rata-rata sekitar 23% dan menaikkan harga jual eceran dengan rata-rata sekitar 35% mulai 1 Januari 2020, yang disampaikan pemerintah pada Jumat (13/9/2019) sekitar pukul 16.00 mengejutkan pasar.
Analis PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya mengatakan, kenaikan tersebut memberikan kejutan negatif bagi pasar karena cukai rokok per batang tidak pernah meningkat di atas 20% dalam 10 tahun terakhir.
"Kami mengambil sikap netral pada sektor ini sebelumnya, tetapi kami saat ini sedang meninjau kembali industri ini, begitu pula rekomendasi kami pada HMSP dan GGRM," katanya dalam risetnya Jumat (13/9/2019).
Analis PT Samuel Sekuritas Indonesia Yosua Zisokhi mengatakan, rencana penaikan cukai rokok hingga 23% mulai 1 Januari 2020, di atas perkiraan analis. Analis memproyeksikan kenaikan cukai berada di rentang 10%-15%.
"Kenaikan 23% untuk mengkompensasi tidak naiknya cukai rokok pada tahun ini. Sehingga di 2021, masih bisa berharap kenaikan cukai hanya 10%-12% saja," terangnya pada Jumat (13/9/2019).
Analis mengatakan, kenaikan cukai rokok berpeluang menggerus margin produsen rokok. Hal ini pernah terjadi pada 2017 ketika cukai rokok naik tinggi sebesar 15%.
Harga jual eceran yang naik 33% otomatis secara umum membuat gross margin terjaga. Meski demikian, volume penjualan diperkirakan turun lebih dalam, sementara beban operasional tetap sama. Ini berakibat laba bersih yang melambat.
"Kami perkirakan semula laba bersih emiten rokok masih bisa naik di atas 15% di 2020, sehingga mungkin [dengan kenaikan cukai rokok 23%] menjadi di bawah 15%," imbuhnya.
Raja Abdalla, Analis PT Deutsche Verdhana Sekuritas Indonesia, memperkirakan volume penjualan industri rokok bisa turun dengan kenaikan cukai rokok yang tinggi. Dengan kenaikan tersebut, produsen rokok harus menaikkan harga sekitar 16%-17%.
Namun, produsen rokok juga dihadapkan kondisi daya beli masyarakat dan kompetisi yang ketat di industri ini. Sehingga, hal ini akan berdampak ke laba perseroan.
"Karena earning-nya berat, maka outlook sahamnya ke depan kurang bagus. Kami merekomendasikan netral untuk industri ini," katanya pada Jumat (13/9/2019).