Bisnis.com, JAKARTA—PT Bahana TCW Investment Management meluncurkan instrumen kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA) pertamanya dengan total dana kelolaan (asset under management/AUM) investasi senilai total Rp1,3 triliun.
Aset dasar dalam portofolio produk investasi tersebut berupa surat berharga kumpulan Tagihan Kredit Pensiunan Aparatur Sipil Negara yang dialihkan sebagian yang diterbitkan oleh PT Bank Bukopin Tbk.
Presiden Direktur Bahana TCW Investment Management Edward Lubis menjelaskan, sekuritisasi aset ini memiliki 3 kategori. Pertama, kategori A1 senilai Rp480,40 miliar yang dicatatkan di Bursa Efek Indonesia dengan nama Efek Beragun Aset Bahana Bukupoin—Kumpulan Tagihan Kredit Pensiunan yang Dialihkan untuk Kelas A1. Produk itu bertenor 3 tahun dan memberikan bunga tetap sebesar 9,25% per tahun.
Kedua, kategori A2 sekitar Rp700 miliar ditawarkan melalui private placement dengan tenor 7 tahun dan kupon 10%. Ketiga, kategori B senilai Rp119 miliar.
“Outstanding investasi itu yang AUM-nya. Jadi, total Rp1,3 triliun,” kata Edward di Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Edward menambahkan, instrumen ini memiliki risiko investasi yang rendah karena kolateralnya lebih tinggi dari total outstanding. Adapun, kredit yang dialihkan juga memiliki nilai pokok yang menghasilkan bunga.
Baca Juga
“Sumber dana pembayaran cicilan pokok dan kupon berasal dari arus kas manfaat pensiun yang dibayarkan PT Taspen, sehingga lembaga pemeringkat Pefindo memberikan rating AAA,” imbuh Edward.
Lebih rinci, sumber pembayaran atau cashflow berasal dari kumpulan tagihan kredit pensiunan yang dialihkan yang dibeli dari kreditur awal, terdiri dari tagihan pokok pinjaman selama 7 tahun senilai Rp750 miliar dan tagihan cicilan bunga pada periode yang sama senilai Rp1,3 triliun, sehingga total Rp2,01 triliun.
Selanjutnya, KIK EBA membeli kredit tersebut dengan nilai maksimal Rp1,3 triliun sehingga coverage atas EBA yang dibeli sebesar 155%.
Selain dari cash flow yang terjamin selama tidak ada masalah operasional, Bank Bukopin sebagai penerbit juga akan menyediakan buffer. Adapun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharuskan Bank Bukopin mencadangkan investasi senilai 9% atau sekitar Rp119 miliar dari produk ini.
Kendati pendapatan Bank Bukopin ke depannya bakal berkurang karena sudah dikeluarkan di muka, lanjut Edward, perseroan justru dapat menggunakan dana awal ini untuk menyalurkan kredit.
Hal itu pun diharapkan dapat menopang pendapatan dan menjadi sumber revenue baru tanpa harus terbebani modal yang besar.
Sejauh ini, investor yang masuk sebagian besar berasal dari institusi, seperti Dana Pensiun Pertamina. Sementara dari investor ritel, yang sekitar 5%, berasal dari individu dengan high-net worth atau konglomerat.