Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berlanjut bersama nilai tukar rupiah pada perdagangan hari ketiga berturut-turut, di tengah tekanan yang dialami aset-aset berisiko.
Aksi jual saham besar-besaran menekan pergerakan bursa saham dan mata uang di Asia berikut pasar saham di kawasan lain akibat meningkatnya kekhawatiran soal perang perdagangan Amerika Serikat-China.
Berikut adalah ringkasan perdagangan di pasar saham, mata uang, dan komoditas yang dirangkum Bisnis.com, Senin (5/8/2019):
Dikepung Sentimen Negatif, IHSG Meluncur ke Level 6.175
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 2 persen dan meluncur ke kisaran level 6.170 pada akhir.
Dua saham emiten bank yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang masing-masing turun 4,04 persen dan 2,68 persen menjadi penekan utama pelemahan IHSG.
Menurut tim riset PT Erdikha Elit Sekuritas investor tampak kembali merespons adanya sentimen dari kabar perang dagang yang nampak mulai berkecamuk akibat provokasi Presiden AS Donald Trump.
“Investor tampak mulai berpindah ke instrumen safe haven,” paparnya dalam riset harian.
Investor Resah, Aksi Jual Besar-Besaran Tekan Pasar Saham Global
Aksi jual saham besar-besaran menekan bursa Asia sekaligus menyeret bursa Eropa bersama indeks futures Amerika Serikat (AS) akibat meningkatnya kekhawatiran tentang perang perdagangan AS-China.
Mata uang yuan China jatuh melampaui level 7 yuan per dolar AS di tengah spekulasi bahwa pemerintahan Presiden Xi Jinping tidak menahan depresiasi lebih lanjut untuk melawan ancaman tarif terbaru Presiden Donald Trump.
Seiring dengan tergerusnya performa aset-aset berisiko hari ini, harga emas menguat dan imbal hasil obligasi Treasury bertenor 10 tahun turun ke level terendahnya sejak Oktober 2016.
“Pasar membutuhkan pemutus arus [penurunan], seperti langkah Federal Reserve yang lebih agresif atau dimulainya kembali perundingan AS-China,” terang Jonathan Cavenagh, kepala strategi pertukaran mata uang asing untuk pasar negara berkembang Asia di JPMorgan Chase & Co., seperti dilansir dari Bloomberg.
Rupiah Melemah Disengat Listrik dan Perlambatan Ekonomi
Rupiah kian tak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat pada perdagangan hari ini. Berdasarkan data Bloomberg, mata uang garuda tersebut ditutup melemah 0,49% atau 0,70 poin ke posisi Rp14.255 per dolar AS.
Pelemahan rupiah tersebut diperkirakan karena ketidakpuasan pasar terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal II/2019. Capaian tersebut sesuai ekspektasi pasar.
“Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%,” kata Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim dalam keterangan tertulis.
Harga emas Comex untuk kontrak Desember 2019 terpantau naik tajam 13,80 poin atau 0,95 persen ke level US$1.471,30 per troy ounce pukul 18.44 WIB, menuju penguatan hari kedua berturut-turut.
Sementara itu, indeks dolar AS yang melacak pergerakan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama melemah 0,42 persen atau 0,416 poin ke posisi 97,658.
Di dalam negeri, harga emas batangan Antam berdasarkan daftar harga emas untuk Butik LM Pulogadung Jakarta naik sebesar Rp2.000 menjadi Rp724.000 per gram. Harga pembelian kembali atau buyback emas Antam ikut naik Rp2.000 menjadi Rp653.000 per gram.
Perang Dagang AS vs China Ancam Pertumbuhan, Harga Minyak Meluncur
Harga minyak mentah dunia terpeleset ke zona merah dan merosot, di tengah kekhawatiran soal pertumbuhan ekonomi global setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif lebih lanjut terhadap impor China.
“Minyak mentah mengalami tekanan signifikan karena daya tarik aset berisiko global tetap lesu akibat pertumbuhan global yang lemah dan eskalasi tiba-tiba dalam konflik perdagangan China-AS,”jelas Benjamin Lu, analis komoditas di broker Phillip Futures.
Pekan lalu, Trump mengatakan akan mengenakan tarif 10 persen pada sisa impor China senilai US$300 miliar mulai 1 September. Trump bahkan mengatakan dapat menaikkan tarif lebih lanjut jika Presiden China Xi Jinping gagal bergerak lebih cepat menuju kesepakatan perdagangan.