Bisnis.com, JAKARTA — Kapitalisasi pasar saham maskapai milik negara, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., tercatat melorot Rp2,85 triliun sejak kisruh laporan keuangan periode 2018 yang bergulir sejak 24 April 2019.
Rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) kinerja 2018 Garuda Indonesia, 24 Juli 2019, tidak berjalan mulus. Laporan keuangan 2018 yang disampaikan maskapai milik negara itu disetujui para pemegang saham namun dengan catatan.
Dua komisaris perseroan, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menjelaskan bahwa keberatannya akan laporan keuangan itu karena perjanjian antara Mahata dan Citilink tidak dapat diakui dalam buku 2018. Pasalnya, sejak diteken pada 31 Oktober 2018 hingga 2 April 2019, perseroan belum menerima pembayaran dari sang mitra.
Kedua komisaris wakil dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd, pemegang 28,08 persen saham Garuda Indonesia, itu memberikan catatan dessenting opinion.
Kisruh itu berujung kepada sederet sanksi yang diberikan oleh regulator, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Garuda Indonesia. Salah satu sanksi yang diberikan yakni merevisi dan menyajikan kembali laporan keuangan periode 2018.
Dalam laporan keuangan yang disajikan kembali, Garuda Indonesia tercatat kembali membukukan rugi tahun berjalan senilai US$175,02 juta. Sebelumnya, dilaporkan bahwa perseroan mencetak laba tahun berjalan senilai US$5,01 juta.
Baca Juga
Berdasarkan data Bloomberg, harga saham emiten bersandi GIAA itu ditutup terkoreksi 6 poin atau 1,52% ke level Rp390, pada perdagangan, Jumat (26/7/2019). Total kapitalisasi pasar yang dimiliki tercatat senilai 10,09 triliun.
Akan tetapi, pergerakan saham GIAA telah terkoreksi 110 poin atau 22% pada rentang 24 April 2019 hingga 26 Juli 2019. Pasalnya, harga saham melorot dari Rp500 menjadi Rp390.
Akibatnya, total kapitalisasi pasar yang dimiliki maskapai pelat merah itu turun Rp2,85 triliun dari Rp12,94 triliun pada 24 April 2019 menjadi Rp10,09 triliun pada 26 Juli 2019.
KEPERCAYAAN INVESTOR
Analis Artha Sekuritas Dennies Christopher Jordan menilai dampak dari kisruh laporan keuangan periode 2018 menurunkan kepercayaan investor. Hal itu tercermin dari pergerakan saham perseroan.
“Terutama sejak pertama kali laporan keuangannya dipermasalahkan. Awal tahun, [saham GIAA] bahkan sempat di atas Rp500,” jelasnya kepada Bisnis, Jumat (26/7/2019).
Akan tetapi, Dennies menilai langkah menyajikan laporan keuangan kembali sudah terbilang baik. Artinya, perseroan telah melaporkan kondisi keuangan yang sebenarnya.
Dia menyebut prospek GIAA ke depan erat kaitannya dengan kebijakan politik. Pasalnya, masih banyak beleid yang masih belum diputuskan.
“Baik dari kebijakan harga bahan bakar, harga tiket, dan lain-lain. Jadi, view saya terkait GIAA sejauh ini masih netral,” jelasnya.