Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu produsen aluminium terbesar di dunia, Alcoa Corp, memangkas perkiraan permintaan aluminium global untuk kedua kalinya dalam 3 bulan terakhir. Hal tersebut menambah kekhawatiran pasar bahwa perang dagang telah memperburuk prospek logam industri.
CEO Alcoa Roy Harvey mengatakan pihaknya memperkirakan permintaan aluminium global hanya akan tumbuh sekitar 1,25-2,25 persen pada tahun ini, lebih kecil dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya yang optimistis naik antara 2-3 persen.
Oleh karena itu, pasokan aluminium dari perusahaan yang berbasis di Pittsburgh, AS ini akan mengikuti proyeksi konsumsi. Sehingga, total produksi hanya akan sebesar 1 juta-1,4 juta ton, lebih kecil dari perkiraan produksi April 2019.
“Hal tersebut dikarenakan ketegangan perdagangan antara AS dan China, serta tantangan ekonomi makro yang telah memperlambat permintaan dari China dan seluruh dunia,” paparnya seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (18/7/2019).
Kendati demikian, Harvey percaya bahwa jika Pemerintah China, konsumen utama logam dunia, mengeluarkan kebijakan stimulus maka akan membantu memperkuat permintaan untuk keseluruhan komoditas logam.
"Jika kita terus melihat beberapa perlambatan dalam ekonomi China, maka kita akan melihat lebih banyak stimulus yang bergerak dari keuangan ke fisik dan infrastruktur oleh Pemerintah China, itu kemudian akan berdampak positif, terutama dalam aluminium," lanjutnya.
Baca Juga
Selain itu, Alcoa memproyeksi persediaan aluminium global mencapai 10,7 juta ton pada 2019. Namun, Harvey menilai setengah dari stok tersebut merupakan persediaan yang tidak dilaporkan oleh pihak berwenang. Dia mengatakan, sekitar 2,5 juta ton pasokan yang tidak dilacak oleh bursa saat ini berada di China.
Selama tahun lalu, saham Alcoa telah turun sekitar separuh di tengah kekhawatiran permintaan yang dipicu oleh perang dagang AS-China dan penurunan harga aluminium dan alumina. Alumina adalah bahan yang digunakan untuk membuat aluminium dan merupakan bisnis dengan marjin tertinggi bagi Alcoa.
Di sisi lain, produsen aluminium terbesar lainnya, Rusal, memprediksi pasar aluminium menuju desfisit pasokan sebanyak 1,4 juta ton, yang seharusnya menjadi katalis positif bagi harga aluminium. Rusal memproyeksi defisit pasar aluminium di luar China pada 2019, berada di level yang lebih rendah daripada yang diproyeksikan semula.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (18/7) hingga pukul 13.00 WIB, harga aluminium berjangka di bursa Shanghai bergerak menguat 0,11 persen menjadi 13.900 yuan per ton.
Sementara itu, pada perdagangan Rabu (17/7), harga aluminium kontrak 3 bulan di bursa London melemah 0,16 persen menjadi US$1.847 per ton. Sepanjang tahun berjalan, harga aluminium masih bergerak di zona hijau, menguat tipis 0,05 persen.
Adapun harga aluminium berjangka telah bergerak di bawah level US$2.000 per ton sejak Oktober 2018, yang disebabkan oleh panasnya perang dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Harga yang rendah menunjukkan terkontraksinya permintaan komoditas logam, yang juga tercermin dari penjualan mobil di Negeri Panda yang terus menurun dalam beberapa bulan terakhir.