JAKARTA, Bisnis.com - “Kami ingin mengembangkan bisnis beyond port, bukan semata bisnis kepelabuhanan,” ujar Ari di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, pada pertengahan 2017.
Kala itu, pria dengan nama lengkap I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra ini baru saja ditunjuk menjadi Direktur Utama PT Pelindo III (Persero). Tepatnya pada Mei 2017, Ari menahkodai operator pelabuhan pelat merah tersebut.
Dalam pertemuan itu, Ari menjelaskan kepada Bisnis mengenai rencana transformasi yang ingin dia ciptakan di Pelindo III, mulai dari implementasi sistem kerja berbasis teknologi dan informasi hingga diversifikasi bisnis.
Di sela-sela pembicaraan tentang bisnis Pelindo III, kami sempat menanyakan tentang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., perusahaan yang sempat dia ‘singgahi’ selama 1,5 tahun sebagai direktur keuangan sejak Desember 2014.
Setelah ditinggalkan Ari pada April 2016, emiten berkode saham GIAA tersebut seolah kehilangan tenaga. Kinerja maskapai penerbangan nasional itu pun ambruk dengan menelan kerugian hingga US$213 juta pada pengujung 2016.
Tidak sampai di situ, pada awal 2017, Garuda kembali diterpa badai. Emirsyah Satar, mantan dirut Garuda, terjerat kasus suap dalam pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC.
Baca Juga
“No comment,” kata Ari sambil tersenyum ketika menjawab pertanyaan mengenai kasus suap tersebut.
Dia pun enggan menjawab ketika ditanyakan mengenai kepindahannya dari Garuda ke PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. sebagai Human Capital and Development Director. Padahal, Ari punya rapor bagus karena berhasil membawa perusahaan itu kembali meraup keuntungan pada 2015.
Di pengujung pembicaraan, kami sempat menanyakan apakah dia bersedia jika ditugaskan kembali untuk mengurus Garuda. Lagi-lagi dia hanya tersenyum dan menjawab, “Kalau memang perintah, ya siap saja.”
Berselang setahun, jawaban tersebut menjadi kenyataan. Pada September 2018, Ari ditugaskan untuk menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia. Tugasnya pun berat, yakni membuat maskapai itu kembali membukukan laba.
Di bawah kepemimpinannya, Garuda terbang membumbung tinggi ke angkasa dengan kecepatan penuh. Pada akhir tahun lalu, GIAA membukukan laba US$5 juta, berbalik dari kondisi pada 2017 yang mencatatkan rugi sebesar US$213 juta.
TAMBAH SAHAM
Kembalinya Ari ternyata membawa sentimen positif bagi kinerja saham GIAA. Pada semester I/2018, sejumlah pemegang saham mulai menambah kepemilikan, antara lain Dimensional Fund Advisors yang membeli sekitar 60 juta lembar saham dan State Street Corp yang mengakumulasi sekitar 3 juta lembar saham.
Kendati demikian, tidak diketahui pada harga berapa kedua perusahaan itu membeli saham GIAA. Yang pasti, pada semester I/2018, harga saham Garuda diperdagangkan di kisaran Rp200 per saham.
Pada periode tersebut, tidak ada pergerakan saham GIAA yang signifikan. Dimensional Fund Advisors, perusahaan investasi asal Amerika Serikat, tercatat tidak menambah kepemilikannya setelah mengakumulasi saham Garuda.
Saat Ari diangkat pada September 2018, sempat terjadi kenaikan harga saham GIAA, tetapi tidak terlalu signifikan. Lonjakan harga saham Garuda mulai terjadi pada pengujung November 2018, seiring dengan rumor yang beredar bahwa perseroan akan membukukan laba pada tahun lalu.
Sejak awal November 2018 hingga awal Maret 2019, harga saham Garuda meroket tiga kali lipat dari level Rp200 per saham menjadi Rp630 per saham pada 6 Maret 2019. Pada periode tersebut, beberapa pemegang saham ada yang mengambil untung.
Dua pemegang saham yang sempat melakukan aksi profit taking pada kuartal I/2019 adalah Dimensional Fund Advisors yang melepas sebanyak 3 juta lembar saham dan Manulife Financial yang menjual 3,2 juta lembar saham.
Aksi ambil untung tersebut timing-nya tepat karena setelah itu harga saham GIAA longsor. Sepanjang kuartal kedua tahun ini, saham Garuda anjlok dari Rp630 per saham menjadi Rp366 pada pengujung Juni 2019.
Pada periode longsor tersebut, Dimensional Fund Advisors kembali menambah saham GIAA sebanyak 1,8 juta lembar saham sehingga pada akhir kuartal II/2019, kepemilikan perusahaan investasi itu mencapai 203 juta lembar saham.
Ya, Garuda mengalami turbulensi setelah terbang tinggi. Pencatatan pendapatan lain-lain senilai US$239 juta pada laporan keuangan tahun buku 2018 menjadi penyebabnya.
Hal ini bermula dari kerja sama penyediaan layanan konektivitas senilai US$239,94 juta yang diteken Garuda dengan Mahata Aero Teknologi pada 31 Oktober 2018. Garuda mencatatkan nilai kerja sama itu dalam pos pendapatan lain-lain pada laporan keuangan tahun buku 2018.
Dengan pencatatan itu, Garuda pun membukukan laba. Namun, menurut salah satu pemegang saham, nilai kerja sama itu tidak seharusnya dimasukkan ke dalam pos pendapatan lain-lain karena tidak ada uang yang dibayarkan atau statusnya masih piutang.
KENA SEMPRIT
Aksi ‘memoles’ laporan keuangan ini pun disemprit otoritas terkait. Kementerian Keuangan, melalui kantor Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), memutuskan untuk membekukan izin selama 12 bulan terhadap Akuntan Publik Kasner Sirumapea karena terbukti melakukan pelanggaran yang berpengaruh terhadap opini laporan auditor independen.
Selain itu, Kemenkeu juga memberikan Peringatan Tertulis dengan disertai kewajiban perbaikan terhadap sistem pengendalian mutu KAP dan dilakukan review oleh BDO International Limited kepada KAP Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan setelah ditemukan pelanggaran dalam pelaksanaan audit yang dilakukan Akuntan Publik dan KAP terhadap Laporan Keuangan Tahunan Garuda.
Sementara untuk GIAA, sanksi diberikan oleh OJK yang salah satunya berupa denda hingga lebih dari Rp300 juta, terdiri dari denda kepada perusahaan, direksi yang ikut menandatangani laporan keuangan, serta denda kolektif untuk direksi dan komisaris yang menandatangani laporan keuangan.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi mengatakan, pengenaan sanksi dan perintah tertulis kepada emiten bersandi saham GIAA, direksi dan komisaris GIAA, AP, dan KAP merupakan langkah tegas otoritas untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri pasar modal tanah air.
Selain sanksi denda, GIAA juga diwajibkan untuk memperbaiki dan menyajikan kembali Laporan Keuangan Tahunan Tahunan per 31 Desember 2018 dan melakukan paparan publik.
Untuk melakukan revisi tersebut, OJK membebaskan GIAA untuk memilih Kantor Akuntan Publik (KAP).
“KAP yang sama tidak masalah, kami hanya meminta untuk diperbaiki dan disajikan kembali paling lambat 14 hari. Biasanya memang melalui KAP yang sama karena KAP itu punya partner yang lain,” ujar Fakhri.
Kendati otoritas menemukan pelanggaran dalam laporan keuangan dan laporan tahunan 2018 milik GIAA, Fakhri mengungkapkan bahwa pihaknya belum menemukan adanya unsur kesengajaan terhadap kelalaian tersebut.
Sengaja atau tidak memang sulit dibuktikan. Namun, menurut penelusuran Bisnis, pada 20 Desember 2018, Garuda melaporkan ke Bursa Efek Indonesia bahwa pihaknya menunjuk KAP Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan untuk mengaudit laporan keuangan 2018.
VP Corporate Secretary Garuda Indonesia M. Ikhsan Rosan menjelaskan, KAP tersebut ditetapkan oleh Dewan Komisaris Garuda Indonesia setelah melewati proses tender secara terbuka pada semester II/2019.
Berdasarkan hal tersebut, KAP itu memeroleh keyakinan yang memadai atas laporan keuangan Garuda sehingga dapat mengeluarkan pendapat wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan Garuda pada 2018.
“Hingga saat ini, BPK juga masih dalam proses pemeriksaan untuk hal yang sama. Garuda Indonesia selalu terbuka dan kooperatif untuk penyajian semua dokumen terkait,” ujar Ikhsan.
Sebenarnya, Garuda bisa saja tidak perlu menghadapi polemik laporan keuangan tersebut, karena kinerjanya sudah sehat secara operasional pada kuartal I/2019.
Hal ini terlihat dari kenaikan pendapatan sebesar 11% menjadi US$1,09 miliar pada kuartal I/2019. Perusahaan juga mencetak laba operasional US$49,47 juta serta laba bersih US$20,48 juta atau berbalik dari kuartal I/2018 yang masih rugi US$65,3 juta.
Nasi sudah menjadi bubur, Garuda terlanjur dipaksa ‘untung’ lewat transaksi Mahata di 2018. Perusahaan pelat merah itu pun harus menyelesaikan polemik yang sudah dibuatnya.
Di tengah polemik laporan keuangan ini, Garuda juga dihantam problem lain, seperti rangkap jabatan sejumlah direksi di Sriwijaya Air yang dipersoalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) serta permasalahan harga jual tiket yang mahal.
Kendati demikian, pelaku pasar masih menaruh harapan positif bahwa Garuda Indonesia akan kembali terbang tinggi. Sejumlah perusahaan sekuritas masih merekomendasikan beli saham GIAA.
Analis Ciptadana Sekuritas Fahressi Fahalmesta, misalnya, merekomendasikan beli saham GIAA dengan target harga Rp620 per saham, sedangkan Mirae Asset Sekuritas Indonesia juga memberi rekomendasi serupa dengan target harga lebih tinggi, Rp690 per saham.
Alasannya kira-kira hampir sama. Secara operasional, Garuda sudah efisien sehingga mampu membukukan laba pada kuartal pertama tahun ini. Langkah efisiensi melalui cost control ini yang diapresiasi pelaku pasar.
Ari kini lebih banyak diam. Namun, Garuda terus melangkah dengan melakukan beragam inovasi, mulai dari pemakaian bus listrik, peluncuran seragam baru, ekspansi di bisnis kargo, dan beragam hal lain yang disebut Ari sebagai beyond business.
Garuda dalam posisi sulit. Di satu sisi, ada keinginan agar maskapai ini menjadi suatu korporasi yang menguntungkan. Di sisi lain, Garuda terus mendapatkan tekanan, baik dari publik yang memrotes karena harga tiket yang mahal dan standar pelayanan yang turun, maupun dari pihak-pihak lain yang menyoroti internal perusahaan.
No wonder ya kalau terdepak dari Top 10 Best Airlines kalau inflight mealnya seperti ini! Business Class yang harganya berkali2 lipat dari Economy tapi makanannya sama dan kita tau lah ya harga hokben itu berapa! @GarudaCares @IndonesiaGaruda #sadfood pic.twitter.com/nHF8ihOXRr
— Aria Aditia Sarlito (@ariasarlito) July 2, 2019
Maskapai ini bisa saja terus terbang atau limbung jika terus ditekan. Jika Garuda terus 'terbang', siapa yang senang? Atau jika ia limbung, siapa yang untung?
Mengutip pernyataan Guru Besar Ilmu Manajemen dari Universitas Indonesia Rhenald Kasali, “Mungkin dia salah, mungkin juga tidak. Semua debatable. Perlu waktu dan saling memahami what's going on?”
Penulis: Maftuh Ihsan
Editor: Surya Rianto
Kontributor: Rivki Maulana, Dwi Nicken Tari, Ahmad Rifai, Surya Rianto, & Muhammad Ridwan
Desain Grafis: Ilham Mogu, Arief Triadi