Bisnis.com, JAKARTA - Departemen Perdagangan AS memberlakukan tarif impor lebih dari 400% terhadap baja Vietnam. Pemerintah AS menuduh beberapa produsen baja sengaja melakukan pengiriman melalui Vietnam untuk menghindari tarif impor yang mahal.
Mengutip Bloomberg, tarif impor baru sebesar 456% akan dikenakan pada baja tertentu yang diproduksi di Korea Selatan atau Taiwan, yang kemudian dikirim ke Vietnam untuk diproses ringan dan akhirnya diekspor ke AS.
Kepala Ekonom Asia Pasifik ING Bank Rob Cornell mengatakan bahwa pihaknya tidak mengherankan perusahaan produsen baja mencoba mengarahkan produknya melalui negara seperti Vietnam untuk menghindari tarif impor yang lebih tinggi dari AS.
"Anda meningkatkan biaya, dan orang akan mencari cara untuk menghindarinya. Ini hal manusiawi," ujar Rob seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (3/7/2019).
Adapun, langkah tersebut dinilai menjadi upaya AS untuk memperkuat retorikanya melawan Vietnam, salah satu mitra dagang utama dan negara yang diuntungkan oleh perang dagang antara AS dan China.
Sementara itu, Vietnam mengatakan sedang berupaya mengurangi surplus perdagangannya dengan AS, dan sudah menindak para produsen China yang mengalihkan produk mereka melalui negara Asia Tenggara untuk diekspor ke AS guna memotong tarif yang lebih tinggi.
Baca Juga
Di sisi lain, harga baja rebar di bursa Shanghai pada perdagangan Rabu (3/7/2019) berada di level 4.042 yuan per ton, melemah 0,52%. Sepanjang tahun berjalan, baja telah bergerak melemah 1,16%.
DUKUNG ASET SAFE HAVEN
Kepala Ekonom Bloomberg Wilayah Asia Chang Su mengatakan bahwa kenaikan tarif impor baja tersebut akan merugikan Vietnam. Tercatat, surplus perdagangan tahunan Vietnam dengan AS telah melampaui US$20 miliar sejak 2014 dan mencapai US$39,5 miliar pada tahun lalu.
"Lebih penting lagi, rentang pelebaran negara-negara yang berada di bawah tekanan tarif dari AS kemungkinan akan lebih merusak sentimen investor terhadap aset berisiko pada saat ekonomi global melemah," ujar Chang Su seperti dikutip dari risetnya, Rabu (3/7/2019).
Apalagi kenaikan ini terjadi ketikan aktivitas manufaktur global tengah melemah selama 2 bulan berturut-turut.
Akibatnya, minat investor terhadap aset berisiko akan semakin tertekan sehingga akan semakin menguntungkan aset investasi aman seperti emas dan yen.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (3/7/2019) hingga pukul 16.21 WIB, harga emas di pasar spot melanjutkan penguatannya di level US$1.425,23 per troy ounce dan berhasil naik 0,46%, sedangkan harga emas di bursa Comex berhasil menguat 1,38% menjadi US$1.427,5 per troy ounce. Sepanjang tahun berjalan emas telah bergerak naik 11,7%.
Emas memperpanjang kenaikan harian terbesarnya dalam 3 tahun terakhir di tengah kekhawatiran pasar terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Dalam beberapa perdagangan terakhir, emas telah diperdagangkan mendekati level tertingginya selama 6 tahun.
Hal tersebut dipicu oleh mayoritas bank sentral yang berbalik dovish dan memanasnya beberapa ketegangan geopolitik sehingga mendorong permintaan investor untuk melindungi nilai asetnya.
Kendati demikian, investor saat ini tengah fokus terhadap beberapa data ekonomi yang akan dirilis pada pekan ini, antara lain data PMI non manufaktur AS dan data ketenagakerjaan AS untuk periode Juni. Data tersebut akan menjadi sinyal bagi pasar atas kemungkinan waktu dan skala kebijkan moneter yang lebih longgar oleh The Fed.
Sementara itu, yen juga bergerak menguat 0,18% menjadi 107,69 yen per dolar AS. Yen berhasil menguat setelah Bank of Japan melakukan sedikit penyesuaian terhadap program pembelian obligasi.
Akibatnya, pasar obligasi di seluruh dunia menguat yang juga didukung oleh Bank of England yang memperingatkan adanya kerusakan pada ekonomi global dari meningkatnya proteksionisme. Sepanjang tahun berjalan, yen telah menguat 1,87% melawan greenback.