Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan mata uang garuda pada perdagangan pekan ini diperkirakan cenderung tertekan, baik dari sentimen dalam negeri maupun luar negeri.
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa pada pekan ini rupiah akan bergerak terbatas seiring dengan fokus pasar yang menanti pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di KTT G20 di Jepang.
“Perang dagang akan menahan penguatan rupiah karena pertemuan G20 telah menanti di pekan berikutnya,” ujar Ariston kepada Bisnis, Jumat (14/6/2019).
Hingga saat ini, perang dagang AS dan China belum menunjukan tanda-tanda akan segera berakhir dalam waktu dekat dan memburuk sejak Presiden AS Donald Trump menuduh China mengingkari komitmen negosiasi pada Mei lalu.
Keadaan diperparah ketika pemerintah AS mengatakan bahwa kemungkinan hasil pertemuan G20 di Jepang akhir bulan mendatang merupakan bukan sebuah pertemuan yang akan menghasilkan kesepakatan akhir, melainkan babak baru perundingan dagang kedua negara.
Perang dagang yang terjadi berlarut-larut, akan semakin membebani kekhawatiran pasar terhadap pertumbuhan ekonomi global sehingga investor akan cenderung menjauhi investasi aset berisiko.
Adapun, Kantor Perwakilan Dagang AS pada Senin (17/6/2019) akan menggelar audiensi publik dengan perusahaan retail AS, produsen, dan pebisnis AS terkait rencana Presiden AS Donald Trump untuk menaikan kembali tarif impor produk China senilai US$300 miliar.
Audiensi publik yang akan digelar hingga 25 Juni mendatang menjadi tanda bahwa Trump tidak akan dapat memicu gelombang tarif baru hingga periode audiensi tersebut berakhir.
Selain itu, FOMC yang akan digelar pada pekan depan juga akan menjadi fokus pasar mengingat adanya harapan Bank Sentral AS, The Fed, akan memangkas suku bunga acuan seiring dengan sinyal perlambatan ekonomi AS.
Oleh karena itu, Ariston mengatakan rupiah masih memiliki potensi untuk bergerak menguat seiring dengan pasar yang menanti pernyataan resmi Gubernur The Fed Jerome Powell setelah FOMC digelar.
"Kemungkinan pernyataannya bisa dovish, dalam artian Fed sudah tidak memikirkan lagi untuk menaikkan suku bunga. Ini akan memperlemah pergerakan dolar AS dan memperkuat rupiah," ujar Ariston.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (14/6/2019) rupiah berada di level Rp14.325 per dolar AS, melemah 0,32% atau 45 poin melawan dolar AS.
Ariston memprediksi pada perdagangan pekan depan rupiah akan bergerak di kisatan Rp14.200 per dolar AS hingga Rp14.400 per dolar AS.
Di sisi lain, dari sentimen dalam negeri, rupiah tertekan akibat cadangan devisa yang anjlok sebesar US$4 miliar sehingga membuat investor cemas terhadap pasar Indonesia.
Bank Indonesia merilis cadangan devisa periode Mei turun drastis menjadi US$120,3 miliar dibandingkan dengan periode sebelumnya di level US$124,3 miliar.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa meski cadangan devisa dinilai masih cenderung memadai, tetapi amunisi Bank Indonesia untuk melakukan stabilisasi nilai tukar menjadi lebih terbatas.
"Kekhawatiran investor mengenai nasib rupiah ke depan membuat mata uang garuda mengalami tekanan jual," ujar Ibrahim.
Selain itu, mendekati penghujung kuartal kedua tahun ini, umumnya menjadi momentum perusahaan untuk membayar dividen sehingga korporasi asing yang beroperasi di Indonesia mulai menyetorkan kewajiban dividen ke kantor pusatnya di luar negeri.
Ibrahim mengatakan, permintaan valas korporasi yang meningkat tersebutlah yang akan membuat rupiah melemah.
Dia memperkirakan rupiah akan ditransaksikan di sekitar level Rp14.270 per dolar AS hingga Rp14.355 per dolar AS pada perdagangan Senin (17/6/2019).