Bisnis.com, JAKARTA — Pasar tembaga diprediksi mengalami pasokan yang lebih ketat pada 2019 dibandingkan dengan tahun lalu. Keadaan tersebut diperburuk seiring dengan pasar tembaga menjadi salah satu logam yang akan terkena dampak dari lonjakan permintaan produksi kendaraan listrik tahun ini.
Analis Pasar Tembaga Lembaga Konsultan Wood Mackenzie Eleni Joannides mengatakan bahwa pengetatan pasokan tembaga telah membuat harga melambung cukup tinggia, bahkan ketika industri tengah bergulat dengan kualitas bijih yang menurun, penundaan proyek, dan ketidakpastian perdagangan AS China dapat menekan permintaan dalam jangka panjang.
"Dari perspektif angka, tembaga mengalami defisit dan diperkirakan menjadi pasar yang lebih ketat pada 2019 dibandingkan dengan tahun lalu," ujar Eleni seperti dikutip dari Reuters, Senin (8/4/2019).
Harga komoditas yang relatif naik sejak awal tahun ini telah mengangkat produsen seperti Freeport-McMoRan Inc, Antofagasta Plc, BHP dan Anglo American Plc keluar dari kelesuan pasar dan memberi mereka masalah baru, yaitu perburuan aset berkualitas tinggi di tengah ketidakpastian geopolitik.
Namun, berdasarkan jajak pendapat Reuters terhadap 30 analis menunjukkan bahwa tembaga di bursa London Metal Exchange diperkirakan berada pada level rata-rata US$6.397 per ton tahun ini, sedikit lebih rendah dari penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (5/4/2019), di level US$6.437 per ton.
Tembaga di bursa London pun sepanjang kuartal I/2019 telah bergerak di zona hijau, menguat 7,3% berada pada posisi keempat kinerja logam dasar terbaik pada kuartal pertama tahun ini.
Kurangnya pasokan baru dan permintaan yang stabil untuk penggunaan daya dan konstruksi tahun ini, membuat pasar harus terjaga dalam pasokan sebanyak 25 juta ton yang defisit sehingga mendukung harga naik. "Saya pikir kita sedang menuju pergerakan yang bullish untuk tembaga," ujar analis Pertambangan Jefferies, Christoper LaFemina.
Para pelaku usaha pun tengah bergerak untuk membawa pasokan yang lebih banyak, meski hal tersebut akan memakan waktu.
Beberapa pelaku industri seperti Freeport, BHP, Nevada Copper Corp dan penambang lainnya menghabiskan lebih dari US$1,1 miliar untuk mengembangkan proyek-proyek tembaga baru di Amerika Serikat.
Selain itu, First Quantum Minerals Ltd berencana untuk menghabiskan US$327 juta untuk memperluas tambang tembaga, dengan tujuan meningkatkan produksi sebesar 375.000 ton per tahun dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.
Pengetatan jumlah produksi tahun ini akibat Freeport, produsen tembaga yang diperdagangkan secara publik terbesar di dunia, yang memangkas produksi di tambang Grasberg Indonesia dan penambang Glencore yang mengurangi separuh produksi 2019 dari tambang Mutanda dan tambang kobalt di Republik Demokratik Kongo menjadi 100.000 ton.
Sebagai informasi, Freeport telah memangkas perkiraan produksi 2019 di tambang Grasberg Indonesia lebih dari setengah saat transisi ke operasi bawah tanah, dengan proses yang mahal dan akan memakan waktu bertahun-tahun.
Para analis mengatakan hal tersebut telah membantu meningkatkan sentimen pada tembaga dan beberapa logam lainnya, yang sebelumnya tertahan oleh perselisihan perdagangan AS dan China dan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara konsumen terbesar di dunia, China, di mana pemerintah telah menjanjikan adanya stimulus untuk meningkatkan konsumsi.