Bisnis.com, JAKARTA — PT Vale Indonesia Tbk. menganggarkan belanja modal US$165 juta tahun ini atau hampir dua kali lipat dari US$83 juta pada 2018 sejalan dengan besarnya kebutuhan investasi perseroan.
Direktur Vale Indonesia Bernardus Irmanto menjelaskan bahwa perseroan sudah menyampaikan kepada pemegang saham untuk tidak membagikan dividen untuk kinerja keuangan 2018. Pertimbangan utama yakni kondisi kas perseroan sehingga keuntungan dicadangkan.
“2019 akan ada kebutuhan capital yang cukup besar dibandingkan dengan 2018,” ujarnya ditemui usai rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST), di Jakarta, Selasa (2/4/2019).
Bernardus mengungkapkan dua proyek pengembangan besar yang dibidik perseroan yakni pengembangan smelter feronikel di Bahadopi, Sulawesi Tengah dan smelter nikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Pihaknya menyebut proyek tersebut saat ini tengah dalam proses negoisasi final.
Dia mengatakan perseroan menganggarkan belanja modal US$165 juta pada 2019. Rencana itu naik dua kali lipat dari US$83 juta pada 2018.
Sebagai sumber pendanaan, sambungnya, perseroan akan menggunakan kas internal. Menurutnya, perseroan menghasilkan laba sekitar US$60 juta pada 2018.
Berdasarkan laporan keuangan 2018, Vale Indonesia membukukan pendapatan sebesar US$776,9 juta pada 2018 atau 23,45% secara tahunan. Dari situ, perseroan membukukan laba US$60,51 juta, setelah pada 2017 mencatatkan rugi bersih US$15,27 juta.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, salah satu faktor pengerek kinerja perseroan adalah harga jual feronikel pada 2018 yang lebih tinggi 27% dibandingkan 2017.
Wakil Presiden Direktur Vale Indonesia Febriany Eddy mengungkapkan untuk rencana pembangunan smelter feronikel di Bahadopi sudah dalam tahap finalisasi pemilihan partner. Menurutnya, pemilihan sudah mulai mengerucut ke dua calon mitra asal China.
“Dalam tahap nego komersial yakni kapasitas dan saham. Rencananya, kuartal II/2019 sudah kesepakatan prinsipal dan diumumkan partner yang terpilih siapa,” jelasnya.
Untuk smelter nikel di Pomalaa, Febriany menyebut saat ini perseroan masih berkomitmen dengan Sumitomo Metal Mining. Kepemilikan saham INCO di smelter tersebut diproyeksikan sekitar 20%—30%. “Untuk [smelter] Bahadopi targetnya kami mau mayoritas,” imbuhnya.
Dia menambahkan sumber pendanaan pengembangan smelter akan berasal dari project financing dan ekuitas. Selain itu, perseroan juga akan menggunakan dana dari keuntungan yang dihasilkan pada 2018.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis.com sebelumnya, proyek Bahodopi dan Pomalaa disebut akan menghasilkan produk olahan nikel kelas satu. Produk tersebut berbeda dengan nikel matte yang biasa diproduksi perseroan melalui pabrik di Sorowako, Sulawasi Selatan.
Nikel matte hanya digunakan untuk industri baja anti karat stainless steel. Adapun, nikel kelas satu merupakan bahan baku produk premium seperti baterai listrik untuk electronic vehicle (EV).