Bisnis.com, JAKARTA—Sepanjang kuartal I/2019, instrumen fixed income dinilai akan menjadi opsi terbaik para investor di tengah kondisi volatilitas global dan domestik.
Analis BNI Sekuritas, Thendra Crisnanda menyebutkan, tidak hanya risiko yang lebih rendah dibandingkan pasar saham, pemerintah Indonesia juga menawarkan real investment yield yang menarik untuk instrumen obligasi, yaitu sebesar 5% untuk tenor 10 tahun. Besaran yield ini lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain di regional Asia Pasifik.
“Kondisi ini berbanding terbalik dengan pasar saham, sebagian besar Investor masih wait and see menanti hasil Pilpres 2019, dalam menentukan arah tema investasi yang tentunya akan berdampak pada pendapatan korporasi di Bursa Efek Indonesia,” katanya, Senin (25/3/2019).
Aliran modal asing yang lebih banyak masuk ke pasar obligasi dan Surat Utang Negara (SUN) pun dinilai sebagai pola yang wajar dan merupakan kebiasaan pelaku pasar mendekati berlangsungnya pemilihan presiden pada April 2019.
Senada, analis Bina Artha Sekuritas Nafan Aji mengatakan dengan kecenderungan pelaku pasar yang masih wait and see, maka investor lebih memilih instrumen yang tidak memiliki resiko terlalu tinggi atau memberikan fixed income. Hal itu, lanjut dia, menjadi penyebab obligasi atau SUN cenderung lebih diminati.
“Faktor kebiasaan pelaku pasar, nanti setelah April diketahui hasil positif, maka cenderung capital inflow pelaku akan kembali mengalihkan kepada pasar saham. Ini bisa kesempatan bagi pelaku pasar mulai masuk ke aset yang beresiko temasuk saham,” katanya.
Sebagai informasi, arus masuk asing secara year to date di pasar SUN sudah mencapai Rp63,38 triliun, sedangkan di saham baru Rp11,22 triliun.
Bobot Indonesia di Indeks obligasi global yang diperkirakan meningkat akan menjadi sentimen positif yang mendorong pembeli asing membanjiri pasar Surat Utang Negara (SUN) dibandingkan pasar saham.
Head Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan sejumlah kabar berhembus bahwa salah satu indeks yang banyak dijadikan acuan investor akan menambah bobot Indonesia, seperti JP Morgan GBI EM Broaa Index. Dengan demikian, investor pasif yang mengacu pada indeks tersebut, tentu akan menaikkan porsi obligasi Indonesia dalam portofolionya.
Selain itu, dia meyakini valuasi obligasi Indonesia memang masih menarik, baik dari level ataupun real yield, yakni spread terhadap inflasi, ataupun spread terhadap UST yield dengan dibandingkan pasar berkembang lainnya. Dia menambahkan nilai tukar rupiah yang stabil, cadangan devisa yang meningkat dan turunnya Ctoredit Default Swap (CDS) ikut memberikan katalis positif inflow asing ke Indonesia.
“Yang harus diwasapadai tentunya sudden reversal, misalnya jika terjadi pembalikan dana asing karena sentimen risk off,” katanya.