BIsnis, JAKARTA—Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) mendukung upaya Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memperbanyak jenis produk di pasar modal pada tahun ini.
Ketua Umum APEI Octavianus Budiyanto menyampaikan bahwa potensi pasar modal domestik yang masih besar bisa membuka ruang bagi produk-produk baru maupun produk yang sudah ada tapi belum terlalu likuid.
“Sebetulnya kita punya market sekarang Rp7 triliun ini kan di satu sisi itu bagus. Artinya, dengan produk yang sekarang saja sudah dapat Rp 7 triliun,” katanya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (21/3/2019).
Dirinya menjelaskan, sejauh ini telah tersedia banyak produk derivatif yang dapat dikembangkan, seperti ETF dan stock option.
Namun, selama ini produk-produk tersebut justru terkesan “tidak jalan”. Misalnya saja, produk ETF memang bagus di pasar primer. Tetapi begitu memasuki pasar sekunder, produk tersebut mulai kesulitan karena tidak likuid.
“Selama ini ‘tidak jalan’, itu yang harus kita review. Kenapa tidak jalan, karena peraturan atau karena kurang insentifnya atau karena apa,” imbuh Ocky.
Adapun pemberian insentif untuk penyedia likuiditas (liquidity provider) dinilai Ocky perlu pula dipertimbangkan supaya membuat transaksi produk di pasar modal bergairah.
Pasalnya, kebanyakan investor enggan untuk masuk karena biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Dengan kata lain, produk-produk yang banyak saja tidak akan berjalan apabila tidak memiliki liquidity provider.
“Misalnya, stock option kan tujuannya bagus untuk hedging dan lainnya. Tapi karena tidak ada liquidity provider kan dia stuck begitu saja,” tutur Ocky.
Selanjutnya, keberagaman produk di pasar modal diharapkan dapat terserap karena pasar Indonesia diuntungkan dari sisi jumlah populasi yang besar. Arahnya, dengan banyaknya pilihan produk di pasar modal juga diharapkan bisa membuat clustering di antara perusahaan efek.
Seperti halnya perbankan, kata Ocky, nantinya perusahaan sekuritas juga bisa tersegmentasi. Misalnya, perusahaan sekuritas yang fokus untuk segmentasi pasar milenial, atau pasar syariah, dan lainnya.
Sebelumnya, Direktur Perdagangan dan Penilaian Anggota Bursa BEI Laksono Widodo mengungkapkan bahwa bursa memiliki strategi untuk mengembangkan produk yang lebih banyak di pasar modal ketimbang mengadakan konsolidasi perusahaan efek.
“Dengan produk yang lebih banyak itu, kemampuan [perusahaan sekuritas] untuk mengeluarkan produk dengan fee yang lebih baik akan ada tentunya,” katanya di Gedung BEI pada Rabu (20/3/2019).
Hal itu disampaikan oleh Laksono menjawab konfirmasi mengenai upaya konsolidasi perusahaan efek yang memiliki modal pas-pasan.
Laksono mengaku, sejauh ini bursa belum melakukan perubahan, misalnya meningkatkan aturan permodalan dan MKBD (modal kerja bersih disesuaikan), supaya perusahaan sekuritas melakukan merger.
“Kalau konsolidasi kan perlu dilakukan misalnya meningkatkan permodalan dll [supaya merger]. Kami belum menuju ke sana,” ujarnya.
APRESIASI RENSTRA BEI
Selanjutnya, Ocky juga mengapresiasi fokus utama rencana kerja strategis Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk anggota bursa pada tahun ini.
Dirinya menyampaikan bahwa dukungan bursa untuk pendirian perusahaan efek daerah, program simplifikasi pembukaan rekening, dan revitalisasi Securities Lending and Borrowing (SLB) memiliki tingkat kepentingan masing-masing.
Ocky menilai simplifikasi pembukaan rekening efek menjadi penting mengingat perubahan pola investor. Berdasarkan data BEI, per Desember 2018, pertumbuhan investor milenial berusia 18—25 tahun naik 116,78% menjadi 149.386 dibandingkan sejak akhir 2016.
“Kalau mereka [masyarakat milenial] kan tidak suka dengan yang terlalu paperwork. Kalau bisa pakai teknologi ya pakai teknologi,” imbuh Ocky.
Sementara khusus untuk fungsi PE daerah, Ocky menilai PE daerah bisa sukses apabila putra daerah atau perusahaan daerah ikut menggali potensi investor di masing-masing daerahnya.
“Harapannya, dengan gaya dan pendekatan lokalnya bisa menarik lebih banyak investor,” imbuh Ocky.