Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi di zona merah pada akhir sesi I perdagangan hari ini, Selasa (22/1/2019).
Berdasarkan data Bloomberg, IHSG turun 0,49% atau 31,72 poin ke level 6.419,11 pada akhir sesi I dari level penutupan perdagangan sebelumnya. Pada perdagangan Senin (21/1), IHSG mampu berakhir menguat 0,04% atau 2,68 poin di posisi 6.450,83.
IHSG sempat melanjutkan penguatannya dengan dibuka naik tipis 0,03% atau 1,77 poin di posisi 6.452,60 pagi tadi. Sepanjang perdagangan hari ini, IHSG bergerak di level 6.418,72 – 6.464,53.
Tujuh dari sembilan sektor menetap di zona merah, dipimpin sektor aneka industri (-1,63%) dan tambang (-1,38%). Adapun sektor pertanian dan konsumer masing-masing menguat 0,95% dan 0,36%.
Sebanyak 156 saham menguat, 227 saham melemah, dan 244 saham stagnan dari 627 saham yang diperdagangkan.
Saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) yang masing-masing turun 1,44% dan 2,23% menjadi penekan utama terhadap pergerakan IHSG pada akhir sesi I.
Di sisi lain, saham PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) yang masing-masing naik 7,49% dan 2,21% menjadi pendorong utama sekaligus membatasi besarnya koreksi IHSG.
Indeks saham lainnya di kawasan Asia mayoritas juga melemah siang ini, di antaranya indeks FTSE Straits Times Singapura (-0,40%) dan indeks FTSE Malay KLCI (-0,11%).
Indeks Nikkei 225 dan Topix Jepang masing-masing turun 0,65% dan 0,74%, indeks Shanghai Composite dan CSI 300 China masing-masing melemah 0,89% dan 1,07%, sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong melemah 1,17%.
Dilansir Bloomberg, bursa saham Asia secara keseluruhan melemah pada perdagangan siang ini, ketika investor mencermati serangkaian kabar terbaru tentang pertumbuhan dan perdagangan global.
Tanpa arahan dari pasar saham Amerika Serikat yang ditutup karena libur nasional pada perdagangan Senin (21/1), indeks saham mulai dari Tokyo hingga Shanghai dan Seoul bergerak di zona merah.
Kabar bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan globalnya menjadi yang terlemah dalam tiga tahun pun memperkeruh sentimen pasar.
Berdasarkan laporan World Economic Outlook (WEO) Januari 2019, IMF memperkirakan PDB ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019 dan3,6% pada 2020. Angka tersebut lebih rendah masing-masing 0,2% dan 0,1% dari WEO Oktober 2018. Pertumbuhan tersebut juga lebih lambat jika dibandingkan dengan estimasi pertumbuhan ekonomi pada 2018 sebesar 3,7%.
IMF menyebutkan revisi turun itu melihat adanya dampak negatif dari kenaikan tarif perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang menyebabkan perekonomian Negeri Panda berpotensi melambat lebih besar dari ekspektasi.
Selain ketegangan perdagangan, potensi no-deal Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan ikut menjadi sentimen pemberat perekonomian tahun ini.
Optimisme mengenai perundingan AS dan China agak menyusut, setelah Bloomberg melaporkan bahwa kedua belah pihak membuat sedikit progres terkait pada isu utama perlindungan kekayaan intelektual.
“Minat terhadap aset berisiko sangat rendah. Biasanya ketika Anda melakukan pembelian ketika sentimen sedemikian tertekan, Anda cenderung akan menghasilkan uang, kecuali ada resesi,” ujar Ajay Kapur, kepala strategi pasar negara berkembang global dan Asia Pasifik di Bank of America Merrill Lynch kepada Bloomberg Television.