Bisnis.com, JAKARTA – Emiten petrokimia terintegrasi PT Chandra Asri Tbk. akan melakukan penerbitan obligasi bertajuk Obligasi Berkelanjutan II Chandra Asri Petrochemical Tahap I Tahun 2018 dengan nilai pokok obligasi sebesar Rp500 miliar.
Berdasarkan informasi yang dipublikasikan perseroan, emiten dengan sandi TPIA tersebut menyampaikan akan menerbitkan obligasi itu tanpa warkat dengan durasi jatuh tempo setelah tiga tahun dengan tingkat bunga tetap sebesar 10%.
Pembayaran bunga obligasi tahap pertama akan dilaksanakn perseroan pada 19 Maret 2019, sedangkan pembayaran bunga terakhir akan dilakukan pada 19 Desember 2021. Pelunasan bligasi secara penuh akan dilakukan pada saat jatuh tempo.
Obligasi tersebut telah mengantongi hasil pemeringkatan atas surat utang jangka panjang obligasi dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) yaitu AA- (double A minus). Bertindak sebagai penjamin pelaksana emisi obligasi yaitu PT BCA Sekuritas, PT DBS Vickers Sekuritas Indonesia, dan PT Mandiri Sekuritas.
Adapun, entitas anak PT Barito Pacific Tbk. tersebut akan menggunakan seluruh dana dari Obligasi Berkelanjutan II Chandra Asri Petrochemical Tahap I Tahun 2018 untuk beberapa keperluan.
Pertama, sebesar 80% akan digunakan untuk melunasi pokok utang berdasarkan Facility Agreement senilai US$220 juta Single Curency Term Facility tanggal 29 September 2012. Pembayaran atas utang tersebut diperkirakan pada 29 Maret 2019.
Kedua, sekitar 20% akan digunakan perseroan untuk mendanai sebagian belanja modal. Perseroan berencana meningkatkan kapasitas produksi melalui pembelian mesin pabrik methyl tert-butyl ether (MTBE) dan Butene-1 baru.
Investor Relation Chandra Asri Petrochemical Harry Tamin menyampaikan perseroan memprediksi akan menggelontorkan US$130,5 juta untuk pembelian mesin tersebut. Adapun, pabrik MTBE itu ditargetkan dapat beroperasi pada kuartal 2020.
“Proyek MTBE dan Butene ini merupakan proyek baru kami yang kami targetkan dapat beroperasi pada kuartal ketiga 2020. Pada 2020, kami juga akan melakukan revamp untuk cracker etilena sehingga menjadi 900.000 ton dari saat ini 860.000 ton per bulan,” ungkap Harry saat dikonfirmasi, Jumat (14/12).
Dia menjelaskan perseroan perlu meningkatkan kapasitas produksi untuk menangkap permintaan yang trennya meningkat. Di regional Asia Tenggara misalnya, suplai produk kimia tersebut mulai terbatas sehingga membutuhkan tambahan produksi.
Dengan potensi psar tersebut, dia menyampaikan emiten dengan sandi TPIA tersebut optimistis untuk melakukan ekspansi. Belum lama ini, perseroan baru saja merampungkan pabrik karet sintetik yang dibangun oleh perusahaan JV antara Chandra Asri Ptrochemical dengan Michelin.
Berdasarkan laporan keuangan yang dibukukan perseroan TPIA membukukan pendapatan bersih sebesar US$1,96 miliar pada sembilan bulan pertama 2018, meningkat 9,1% dibandingkan periode sama tahun lalu (yoy).
Dengan kenaikan harga naphta, beban pokok pendapatan perseroan menanjak 17,9% menjadi US$1,62 miliar dari US$1,37 miliar. "Kenaikan itu sebagian besar disebabkan biaya bahan baku yang lebih tinggi terutama naphta, dengan harga minyak menjadi rata-rata US$73 per barel dibandingkan US$52 per barel yoy," ungkap Harry.
Alhasil, laba bersih perseroan pada Januari-September 2018 yaitu US$174,5 juta atau tergerus hingga 30,4% yoy. Manajemen menyebut penurunan tersebut telah terprediksi, di tengah himpitan kenaikan harga bahan baku sekaligus langkah perseroan untuk meningkatkan kapasitas produksi pabrik.