Bisnis.com, JAKARTA – Volatilitas mewarnai sentimen bursa Wall Street Amerika Serikat (AS) sepanjang 2018. Alhasil, dua indeks saham utamanya, S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average, membukukan penurunan sepanjang tahun ini.
Berdasarkan data Bloomberg, pergerakan indeks S&P 500 telah turun sekitar 1,38% sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga akhir perdagangan Selasa (11/12). Padahal, S&P 500 membukukan kenaikan sekitar 18,81% selama periode yang sama tahun 2017.
Adapun pergerakan indeks Dow Jones Industrial Average telah turun 1,41% year-to-date hingga akhir perdagangan Selasa, dibandingkan dengan kenaikan sebesar 23,39% selama periode yang sama tahun lalu.
Meski demikian, indeks Nasdaq Composite masih mampu menorehkan pergerakan positif kenaikan sekitar 1,86% year-to-date hingga akhir perdagangan Selasa. Tetap saja, raihannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan kenaikan 27,72%.
Kombinasi dari melambatnya pencapaian kinerja keuangan korporasi Amerika Serikat, tensi dagang antara Negeri Paman Sam dan China, serta kondisi geopolitik di kawasan lain telah membebani pasar keuangan global.
Setelah sempat menguat pada awal tahun ini, tingkat pertumbuhan pendapatan korporasi di AS melambat pada kuartal III/2018. Ini menunjukkan bahwa tensi dagang antara AS dan China yang kian mencuat tahun ini mulai berdampak terhadap kinerja perusahaan-perusahaan di Negeri Paman Sam.
Berdasarkan data lembaga riset Refinitiv, pendapatan perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 pada kuartal III/2018 berada di level 22,1%. Level tersebut memang masih tinggi, tetapi telah turun dari puncaknya pada kuartal pertama tahun ini di level 26,6%.
Adapun, laju pertumbuhan itu diperkirakan dapat terus melemah, dengan kenaikan menjadi hanya 9% pada kuartal II/2019 karena perusahaan bakal menghadapi perbandingan yang lebih berat.
Pasalnya, pada 2018 perusahaan masih diuntungkan dari program pemangkasan pajak oleh Pemerintah AS. Sementara itu, pada tahun depan diperkirakan keuntungan dari program fiskal itu akan memudar ditambah dengan meningkatnya biaya operasional perusahaan yang disebabkan oleh pengenaan tarif impor.
Pakar Strategi Investasi di Edward Jones Kate Warne menilai pelemahan outlook laba dari korporasi-korporasi besar tersebut dapat menambah laju aksi jual di pasar keuangan.
“Menurut saya, hal itu bisa membuat investor khawatir mengenai kelanjutan solidnya pertumbuhan pendapatan, khususnya saat perusahaan tidak mencapai ekspektasi dan mulai mengatakan masa depan terlihat tidak terlalu bagus,” ujarnya, seperti dikutip Bloomberg.
Presiden AS Donald Trump sempat memuji penguatan pasar saham AS di masa kepresidenannya. Akan tetapi, volatilitas pasar beberapa kali tercatat memengaruhi pergerakan bursa AS, di antaranya akibat tensi perdagangan dan kebijakan proteksionisme.
Kebijakan dagang global yang diusung Trump dilancarkan sebagai upaya untuk menyelamatkan manufaktur AS. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut justru berdampak pada kinerja perusahaan-perusahaan besar seperti Caterpillar dan Ford Co.
“Tensi dagang telah menekan pendapatan korporasi dan kami mungkin saja telah melihat puncak dari pertumbuhan pendapatan,” kata Sam Stovall, Kepala Strategis Investasi di CFRA Research, New York.
Investor juga mengkhawatirkan pasar ekuitas akan mengalami kesulitan untuk pulih karena sentimen mengenai kenaikan suku bunga bertumpukan dengan ketidakpastian tentang seberapa besar pertumbuhan laba korporasi akan dirugikan oleh perang dagang AS dengan China.
Kendati demikian, ada pula analis yang meyakini bahwa kondisi bursa AS saat ini cenderung disebabkan oleh faktor teknikal. Pekan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell menyampaikan penilaian yang bullish tentang perekonomian AS dan pasar tenaga kerja.
Tetap saja, sejumlah pembuat kebijakan The Fed telah menyuarakan nada hati-hati tentang prospek ekonomi AS. Hal ini memunculkan spekulasi titik balik dalam kebijakan moneter bank sentral AS tersebut.
Gubernur Federal Reserve Lael Brainard pada hari Jumat (7/12) mengatakan bahwa gambaran ekonomi secara luas terlihat positif tetapi risiko tampak tumbuh di luar negeri dan di pasar obligasi AS.
Presiden The Fed wilayah St. Louis James Bullard pun mengutarakan kembali seruannya agar The Fed menghentikan siklus kenaikan suku bunga saat ini.