Bisnis.com, JAKARTA – Periode 'gencatan senjata' dalam perang dagang akan menimbulkan gairah baru bagi pasar modal Indonesia.
Analis FAC Sekuritas Wisnu Prambudi Wibowo menuturkan pasar modal Indonesia sempat terkena sentimen negatif dari perang dagang. 'Gencatan senjata' ini akan membuat pasar modal lebih sehat dan bergairah.
"Capital inflow akan masuk kembali dan saham-saham yang berkapitalisasi besar akan diuntungkan," ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Minggu (2/12/2018).
Menurutnya, saham yang akan terkena dampak positif adalah BMRI, BBRI, BBNI, BBTN, BBCA, UNVR, ICBP, UNVR, HMSP, GGRM, MYOR, SIDO, SRIL, TLKM dan ASII. Sebab, saham-saham tersebut telah tekena dampak negatif dari perang dagang.
Dia pun memproyeksikan, indeks harga saham gabungan (IHSG) akan bergerak pada menuju 6.200 hingga akhir tahun. Wisnu menilai, potensi untuk window dressing semakin kencang bila perang dagang mereda.
Dari sisi capital inflow, dana yang masuk ke pasar modal Indonesia dalam seminggu telah mencapai Rp588,38 miliar. Namun, selama sebulan terakhir, dana yang masuk pasar modal mencapai Rp7,82 triliun.
Saat dihubungi terpisah, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, aksi Tiongkok yang bersedia membeli produk dari Amerika Serikat akan memberikan dampak positif bagi negara berkembang, karena ketengangan telah mereda.
"Bagi Indonesia, ini sentimen positif jangka pendek, tetapi jangka panjang harus hati-hati. Sebab, AS mulai mengarah pada Jepang untuk menyeimbangkan neraca perdagangan," katanya.
Hans menilai, 'gencatan senjata' pada perang dagang akan menyebabkan perubahan konsumsi, investasi, penurunan risiko pasar dan penguatan rupiah. Harapannya, investasi bisa kembali masuk ke pasar modal Indonesia.
Awalnya Hans memproyeksikan IHSG akan berkisar 6.100--6.200 hingga akhir tahun, akan tetapi setelah memperhitungkan 'gencatan senjata' perang dagang, maka IHSG berpotensi bergerak pada kisaran 6.250-6.350.
Dalam catatan Bisnis, Trump setuju tidak akan menaikkan tarif untuk produk impor asal China senilai US$200 miliar menjadi 25% dari 10% pada 1 Januari 2018, seperti yang direncanakan sebelumnya.
Sebagai penawarnya, Beijing sepakat akan membeli sejumlah, kendati tidak spesifik tetapi sangat substansial, produk pertanian, energi, industri, dan produk lainnya dari AS.