Bisnis.com, JAKARTA — Masih berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan kenaikan suku bunga dinilai akan memberikan risiko kepada sejumlah korporasi sektor riil dengan karakter tertentu.
Investor disarankan untuk lebih mewaspadai potensi pemburukan kinerja atau penurunan peringkat korporasi-korporasi itu, selain korporasi di sektor finansial seperti perbankan dan pembiayaan yang memang lebih rentan.
Niken Indriarsih, Kepala Divisi Pemeringkatan Korporasi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), mengatakan bahwa saat ini Pefindo mengamati sejumlah korporasi yang berpotensi mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga dan kurs.
Niken mengatakan, sejauh ini proses pemantauan dan pemeringkatan atas korporasi-korporasi tersebut terus berlanjut, sehingga Pefindo belum secara terbuka mengumumkan korporasi mana saja dari sektor riil yang mengalami penurunan peringkat atau revisi outlookmenjadi negatif.
Menurutnya, salah satu dampak pelemahan rupiah bagi korporasi adalah meningkatnya biaya produksi dan penurunan laba atau margin profitabilitas. Padahal, untuk menaikkan harga jual perlu mempertimbangkan kondisi pasar, terutama persaingan dan daya beli masyarakat.
Perusahaan yang akan terdampak adalah perusahaan yang sebagian besar memiliki bahan baku diimpor, tetapi sebagian besar pendapatannya dari pasar lokal. Sejumlah sektor tersebut antara lain farmasi, makanan dan minuman, dan pengguna bahan baku plastik.Selain itu, sektor ritel barang impor, serta sektor perdagangan dan distribusi handphone juga dinilai akan terdampak.
Pefindo juga menyoroti perusahaan yang memiliki sebagian besar barang modal yang diimpor dan pendapatan dalam rupiah, seperti sektor konstruksi dan ketenagalistrikan. Menurutnya, pemerintah menyadari hal ini sehingga beberapa proyek infrastruktur yang memiliki tingkat kandungan impor yang tinggi ditunda dulu.
Perusahaan-perusahaan yang juga berisiko, tetapi tidak terbatas pada sektor tertentu yakni perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang asing yang besar dan tidak ada lindung nilai, sedangkan pendapatannya sebagian besar dalam rupiah.
Pelemahan rupiah akan meningkatkan nilai utang dan bunga yang harus dibayar sehingga berdampak pada penurunan laba bersih.“Perusahaan yang dalam setahun ke depan ada utang luar negeri yang harus dibayar, sementara mereka belum lindung nilai, akan ada resiko refinancing atau bahkan gagal bayar,” katanya.
Sementara itu, dari sisi kenaikan suku bunga, sektor yang akan sangat terdampak yakni sektor properti. Kenaikan BI 7 Days Repo Rate akan turut mengerek bunga KPR sehingga menekan laju permintaan rumah. Padahal, dengan bunga yang rendah selama ini pun permintaan masih tertekan.
“Walapun dari sisi pemerintah juga ada kebijakan pelonggaran LTV, tetapi kita akan lihat kembali dampaknya untuk beberapa kuartal mendatang,” katanya.
Selain itu, perusahaan lainnya yang terdampak akibat kenaikan suku bunga adlaah perusahaan-perusahaan yang memiliki sebagian besar utang dengan tingkat suku bunga mengambang, serta korporasi yang membutuhkan pembiayaan kembali atau refinancing atas utang jatuh temponya.
Desmon Silitonga, analis Capital Asset Management, mengatakan bahwa beberapa importir sudah memutuskan untuk menaikkan harga jual sebagai kompensasi atas pelemahan kurs arag margin laba tetap stabil.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, kenaikan harga belum terjadi secara serempak. Masih ada korporasi yang memutuskan untuk mempertahankan harga jual produknya. Artinya, sejauh ini tingkat pelemahan kurs maupun penurunan margin laba masih bisa ditangani oleh korporasi importir.
Namun, bila pelemahan kurs menembus Rp15.500, akan sulit bagi korporasi untuk mempertahankan harga jual mereka tetap rendah.
“Pemerintah masih pertahankan proyeksi inflasi di rentang 3,5% tahun depan dengan asumsi kurs Rp15.000. Dengan asumsi itu, mestinya korporasi masih bisa bertahan. Pertaruhannya sebenarnya adalah tahun depan, kalau kurs meningkat di atas Rp15.500 pasti mereka akan naikkan harga,” katanya.
Desmon mengatakan, kemungkinan The Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga hingga 4 kali lagi sejak Desember 2018 hingga Desember 2019 berpotensi mendorong kenaikan BI 7 DRR. Dengan asumsi BI akan naikkan 4 kali juga, maka BI 7 DRR di akhir 2019 akan mencapai 6,75%.
Bank Indonesia bisa saja tidak menaikkan suku bunganya tahun depan terlalu tinggi bila mampu menahan kurs tetap stabil malalui cara lan, seperti melalui debt swap secara bilateral dengan negara-negara yang memiliki cadangan devisa besar, seperti China atau Jepang.
Strategi dari pemerintah dan Bank Indonesia akan menentukan kondisi makro ekonomi tahun depan dan ruang gerak bagi korporasi.
Sementara itu, terkait sektor properti, Martin Pandiangan, Analis Korporasi Pefindo mengatakan bahwa relaksasi LTV baru efektif pada kuartal III/2018, sehingga efeknya masih terbatas dibandingkan kenaikan suku bunga bagi emiten properti.
Dampak relaksasi LTV diharapkan baru akan terasa pada akhir tahun ini hingga semester I/2019. Hal ini juga turut difaktorkan Pefindo dalam menilai potensi penurunan peringkat emiten properti. Sepanjang tahun ini, emiten properti memang cukup banyak mengalami koreksi peringkat dan outlook.