Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja emiten kosmetik PT Martina Berto Tbk. pada tahun ini terbilang negatif. Dari data yang dirilis perseroan, total penjualan pada semester I/2018 senilai Rp277,9 miliar, turun sebesar 7,22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang senilai Rp299,53 miliar.
Pada 6 bulan pertama tahun ini, emiten bersandi saham MBTO ini mencatatkan kerugian hingga Rp21,65 miliar. Kondisi ini berbalik karena pada semester pertama tahun lalu perseroan masih berhasil mengantongi laba bersih senilai Rp3,43 miliar.
Perseroan berdalih, pada tahun ini daya beli masyarakat masih tertekan. Selain itu, ada tekanan dari kenaikan harga energi, tapering off dan kebijakan tariff masuk Amerika Serikat, serta defisit neraca perdagangan yang membuat pelemahan nilai tukar rupiah. Alhasil, ongkos produksi membengkak.
"Karena biaya produksi makin tinggi, sedangkan volume penjualan tidak dapat didongkrak tanpa promo atau diskon," kata Investor Relation PT Martina Berti Tbk. Desril Muchtar melalui keterangan resmi, Rabu (12/9/2018).
Dia menambahkan, untuk menyelamatkan margin yang makin tipis, perseroan berusaha menargetkan segmen yang lebih tinggi dengan meluncurkan produk baru dengan kualitas lebih tinggi. Namun hasil dari penetrasi segmen pasar baru ini belum bisa langsung dirasakan perseroan.
Disamping butuh upaya pemasaran yang lebih intensif, segmen kelas atas ini lebih selektif dalam memilih merek dan produk serta pasarnya tidak seluas segmen di bawahnya.
Selain itu, penurunan penjualan itu juga disebabkan oleh adanya produkyang mengalami kendala saat dikeluarkan dari gerai-gerai modern karena kalah bersaing dengan produk lain. Hal itu membuat perseroan harus menanggung biaya material dan biaya overhead lebih tinggi . Pasalnya, kecilnya volume penjualan menyebabkan turunnya marjin keuntungan kotor perusahaan tersebut.
"Disamping itu biaya operasional, khususnya biaya pemasaran dan penjualan tidak bisa langsung ditekan lebih rendah dari periode sebelumnya, karena adanya kontrak program dengan gerai-gerai modern yang bisa berimbas langsung terhadap penurunan penjualan secara drastis," kilahnya.
Kata Desril, dengan semakin panjangnya umur piutang dan inventory dibanding umur utang dagang, perseroan membutuhkan lebih banyak pinjaman bank untuk menutup pembayaran ke supplier yang telah jatuh tempo. Hal ini juga menyebabkan penurunan current ratio dan peningkatan debt to equity.