Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga London Metal Exchange memerah seiring dengan indeks dolar Amerika Serikat yang menguat, membuat logam tersebut semakin mahal untuk pemilik yang menggunakan mata uang lain selain dolar AS, meskipun China berniat melakukan pembalasan untuk menaruh tarif pada barang AS senilai US$60 miliar dan eningkatkan tensi perang dagang.
Menteri Keuangan China Liu Kun pada Jumat (3/8) menerbitkan daftar tarif pada 5.207 barang yang diimpor dari AS dengan tarif tambahan berkisar antara 5% dan 25% meliputi bijih dan konsentrat tembaga, seng, dan nikel.
Helen Lau, Analis Agonaut Securities di Hongkong, menuturkan bahwa dampak tarif tersebut pada komoditas tembaga tidak akan terlalu berarti karena impor tembaga konsentrat China dari AS hanya terhitung 3% dari keseluruhan impor tembaganya.
Data dari bea cukai China menunjukkan bahwa pada 2017, China mengimpor tembaga konsentrat AS sebanyak 432.944 ton. AS merupakan pemasok tembaga terbesar kedelapan bagi China.
“Penurunan impor tembaga dari AS bisa digantikan dengan impor dari negara lain dan AS juga bisa mengalihkan pasokannya ke negara lain,” ujar Lau, dikutip dari Reuters, Senin (6/8/2018).
Pada perdagangan Senin (6/8), harga tembaga yang diperdagangkan di London Metal Exchange (LME) tercatat turun 0,3% pada posisi US$6.158,50 per ton. Sebelumnya, pada Jumat (3/8) harga tembaga sempat melonjak sekitar 1,1% dari sesi sebelumnya.
Adapun harga tembaga Comex juga mengalami penurunan 1,70 poin atau 0,62% menjadi US$2,74 per pon dan turun 16,69% selama tahun berjalan. Sementara itu, tembaga Shanghai justru rebound 80 poin atau 0,16% menjadi 49.290 yuan per ton dari sesi sebelumnya, dengan penurunan harga sejauh 11,20% selama tahun berjalan.
Dolar AS tetap stabil meskipun data lapangan pekerjaannya bertumbuh tidak sesuai dengan ekspektasi. Hal tersebut disebabkan oleh investor yang masih berfokus pada ekspektasi kenaikn suku bunga dari Federal Reserve AS hingga dua kali lagi tahun ini.
Indeks dolar AS, yang menjadi pengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang, tercatat naik 0,1% pada posisi 95,25, merangkak mendekati titik puncaknya pada posisi 95,65 yang dicapai pada 19 Juli lalu.
Perhatian investor telah bergeser ke mata uang China yuan setelah Bank Rakyat China (PBOC) pada Jumat melakukan intervensi dan membuat mata uangnya semakin mahal di hadapan dolar AS, yang membantu yuan rebound dari titik terendahnya selama 15 bulan di hadapan greenback.
Data pertumbuhan pekerjaan di AS melambat melebihi ekspektasi pada Juli, tetapi penyusutan tingkat pengangguran menimbulkan kesimpulan bahwa kondisi pasar tenaga kerja AS semakin mengetat.
“Kami melihat dolar tetap kuat di hadapan sejumlah mata uang utama. Meskipun Pada Jumat lalu AS tidak mencapai target pertumbuhan lapangan kerjanya, tapi pertumbuhannya masih positif, dan angkanya cukup besar,” kata Bart Wakabayashi, Kepala Cabang State Street Bank di Tokyo.
The Fed juga menahan suku bunganya tak berubah terlalu besar seperti yang diperkirakan pada Rabu (1/8) lalu.