Bisnis.com, JAKARTA – Dolar Amerika Serikat berhenti menguat di hadapan sejumlah mata uang, melemah setelah para investor menantikan testimoni pertama Kepala Federal Reserve AS Jerome Powell yang diharapkan memberikan gambaran untuk lanjutan kenaikan suku bunga AS.
Powell akan memberikan kesaksian untuk kebijakan ekonomi dan moneter AS di hadapan Komisi Senat Perbankan AS pada pukul 14.00 waktu setempat. Kemudian akan diikuti dengan testimoni pada jam yang sama Rabu (18/7) ke Komisi Jasa Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat AS.
“Kelihatannya pasar saat ini tengah fokus pada kemungkinan bahwa perang dagang AS dan China akan mempengaruhi outlook pengetatan aturan dari The Fed,” kata Masafumi Yamamoto, Kepala Strategi Mata Uang di Mizuho Securities, dikutip dari Reuters, Selasa (17/7/2018).
Yamamoto menilai bahwa Powell sebagai angota Republikan dan sangat erat hubungannya dengan pemerintahan Trump sehingga tidak terlalu memikirkan tentang dampak negatif dari perang dagang. Lewat pelemahan dolar AS kali ini, Yamamoto mengharapkan mata uang yen Jepang dapat menguat hingga 115 yen per dolar AS.
Powell kemungkinan akan kembali mengaskan pengetatan kebijakan moneter The Fed pada kesaksiannya, meskipun ada peringatan bahwa perang dagang dapat menyebabkan penurunan minat risiko di pasar mata uang.
Pada perdagangan Selasa, tercatat indeks dolar AS mengalami pelemahan tipis 0,12 poin menjadi 94,39 di hadapan enam mata uang utama. Berbalik arah dari penguatan pada perdagangan awal hari pada posisi 94,55.
Baca Juga
Penguatan dolar AS dalam beberapa waktu belakangan ini tertahan oleh kekhawatiran akan kenaikan tensi perang dagang antara AS dan China, meskipun kekhawatiran tersebut dinilai belum mampu menurunkan kinerja greenback sepanjang tahun ini.
International Monetary Fund (IMF) telah memberikan peringatan pada Senin (16/7) bahwa ketegangan perang dagang yang terus meningkat dan berkepanjangan akan menggagalkan pemulihan ekonomi global dan menekan prospek pertumbuhan jangka menengah.
“Jika ditarik kembali ke tahun 1980-an atau 1990-an, saat Jepang mengalami konflik perdagangan dengan AS pada bidang otomotif dan semikonduktor, perilaku AS saat ini malah akan memberikan tekanan pada dolar AS. Saat ini hubungan China dengan AS menjadi semakin rumit,” ujar Osamu Takashima, Kepala Strategi Mata Uang G-10 Jepang di Citigroup Global Market, Jepang.
Pada perdagangan Selasa (17/7/2018) tercatat mata uang dolar Australia (AUD) menguat tipis di hadapan dolar AS 0,0008 poin atau 0,11% menjadi US$0,742 per AUD. Adapun, dolar Selandia Baru (NZD) juga menguat 0,0059 poin atau 0,87% menjadi US$0,683 per NZD.
Dolar AS juga melemah di hadapan euro, dengan mata uang Eopa itu terangkat 0,0022 poin atau 0,19% menjadi US$1,173 per euro dari penutupan sesi perdagangan hari sebelumnya. Selain itu, mata uang pound sterling Inggris juga menguat 0,0005 poin atau 0,04% menjadi US$1,324 per pound.
“Kelihatannya hanya dolar-yen yang kebal terhadap risiko perdagangan dengan China saat ini. Ada risiko apabila Indeks Komposit Shanghai tetap melemah dan mata uang renminbi tetap terdepresiasi, maka akan menahan penguatan dolar Australia,” sambung Yamamoto.
Mata uang garuda juga tercatat mengalami penguatan pada Selasa (17/7) sebanyak 22 poin atau 0,15% menjadi Rp14.372 per dolar AS, dan turun 6,03% selama tahun berjalan. Selain karena pelemahan dolar AS, rupiah juga terangkat oleh data neraca perdagangan yang surplus.
Mengutip dari data Bank Indonesia, neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2018 tercatat surplus 1,7 miliar dolar AS, berbalik dari defisit 1,5 miliar dolar AS pada bulan sebelumnya.
Perbaikan tersebut didukung oleh surplus neraca perdagangan nonmigas dan penurunan defisit neraca perdagangan migas. Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif Januari-Juni 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit 1,0 miliar dolar AS.