Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan permintaan kendaraan listrik, dan minat manufaktur baterai untuk menimbun pasokan logam kobalt diprediksi akan mendorong harga kobalt. Gangguan pasokan karena pelarangan ekspor di Republik Demokrat Kongo seperti pada tahun 2008 dan 2013 juga mendorong harga kobalt.
Dilansir dari Bloomberg, Senin (11/6), Analis Industri Bloomberg Intelligence Eily Ong mengungkapkan bahwa harga kobalt berkualitas tinggi (99,8% murni) telah reli 17% sejak 2 Januari menjadi US$39,30 per pon pada awal Juni.
Namun, harga tersebut masih lebih rendah 22% dari puncaknya sejak tahun 2008 pada 7 Maret. Kenaikan harga tersebut terpicu oleh pengetatan pasokan dan kenaikan permintaan, terutama dari konsumsi baterai.
Pada 2008, harga kobalt mencapai puncaknya karena terdampak oleh pelarangan ekspor dari Republik Demokrat Kongo dan penurunan data logistik Amerika Serikat, sementara itu, permintaan dari China mengalami peningkatan.
Ong mengatakan bahwa pertumbuhan permintaan untuk kendaraan berbahan bakar listrik kemungkinan dapat mendorong harga kobalt. Penjualan kendaraan listrik yang terus meningkat di tengah penurunan tingkat hasil tambang dan kemungkinan inflasi biaya produksi berpotensi mendorong harga logam tersebut.
Kobalt merupakan bahan utama pembuat baterai litium-ion. Dengan pasar yang sangat bergantung pada pasokan dari Republik Demokrat Kongo, harganya sudah mencapai tiga kali lipat dibandingkan dengan dua tahun lalu, setelah perusahaan seperti Tesla Inc. mulai mengikuti tren produksi kendaraan listrik.
Logam lainnya seperti aluminium, mangan, nikel, tembaga dan seng juga digunakan untuk pembuatan kendaraan berbahan bakar listrik.
“Sejumlah tren teknologi telah membantu meningkatkan permintaan logam kobalt. Permintaannya melonjak, karena kobalt biasa digunakan sebagai bahan utama produksi baterai litium pada kendaraan listrik, harga kobalt sudah naik dua kali lipat hanya dalam setahun terakhir,” uajr Jim Powell, editor Global Changes & Opportunities Report.
Sejumlah analis energi memprediksi permintaan kobalt akan meningkat hingga 30 kali lipat dalam 10 – 15 tahun kedepan, yang kemungkinan akan membawa harganya melangit. Powell memprediksi investasi kobalt terbesar akan dipegang oleh Glencore Plc, pertambangan asal Inggris.
Glencore Plc. biasanya memproduksi tembaga, namun perusahaan itu juga menjadi salah satu produsen utama logam kobalt, dan menyumbang sedikit pasokan nikel dunia. Ketiga logam tersebut sangat diperlukan dalam jumlah besar untuk produksi kendaraan lisrik dan barang elektronik lainnya.