Bisnis.com, JAKARTA - Lemahnya kinerja saham emiten-emiten sektor properti tahun lalu tidak terlepas dari kinerja keuangan mereka yang memang belum begitu cemerlang. Mayoritas emiten masih membukukan penurunan pendapatan, sedangkan beberapa emiten mengandalkan sumber pendapatan non-rutin.
Kinerja indeks sektor properti, real estat dan konstruksi bangunan tahun lalu mencatatkan return negatif 4,31% ytd di saat IHSG justru melonjak hingga 19,9% ytd. Properti tampaknya memang belum menemukan momentum pemulihannya tahun lalu.
Dari 34 emiten properti yang telah merilis laporan keuangannya untuk periode 31 Desember 2017, ada 18 emiten atau 53% yang mencatatkan penurunan pendapatan dengan kisaran penurunan 1% hingga 90%.
Secara total, nilai pendapatan 34 emiten tersebut tumbuh 12,48%, sedangkan laba tumbuh 25,9%. Sepintas, nilai ini tampak tinggi. Namun, kinerja yang sangat tinggi sejatinya hanya disumbangkan oleh tiga emiten, yakni BSDE, APLN, dan ASRI.
Bila kinerja ketiga emiten tersebut tidak diikutsertakan, tingkat pertumbuhan pendapatan seluruh emiten properti lainnya hanya 2,97%, sedangkan labanya justru turun cukup dalam, mencapai 11,2%.
Di sisi lain, kinerja yang sangat tinggi dari BSDE, APLN dan ASRI pun bukan ditopang oleh kinerja penjualan rutin yang meningkat signifikan, melainkan karena adanya sejumlah pendapatan non-rutin yang dibukukan pada 2017 dengan nilai yang signifikan.
Baca Juga
Laba APLN yang melonjak hingga 117,09% ditopang oleh adanya penjualan aset tetap berupa hak kepemilikan strata title dan peralatan kantor atas Hotel Pullman Jakarta Central Park kepada Strategic Property Investors Company Limited dengan harga jual Rp1,28 triliun.
Penjualan aset tetap tersebut direalisasikan pada 22 Desember 2017 dengan nilai keuntungan penjualan aset tetap tersebut adalah senilai Rp919 miliar. Aset yang dijual telah beralih menjadi aset dasar bagi dana investasi real estate (DIRE) yang diterbitkan di luar negeri.
Pada BSDE, lonjakan pendapatan dan laba yang signifikan disebabkan karena adanya penjualan kepada pihak ketiga senilai Rp2,98 triliun yang melebihi 10% dari jumlah total pendapatan yang tidak terjadi pada 2016.
Demikian pula dengan ASRI yang pada 2017 lalu membukukan penjualan pada pihak ketiga dengan nilai di atas 10%, yakni pada PT CFLD Investment Indonesia senilai Rp1,37 triliun, atau 35% dari total penjualannya.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, mengatakan bahwa tantangan utama industri properti tahun lalu yakni belum pulihnya daya beli masyarakat. Penjualan menjadi melambat karena masyarakat belum mampu mengimbangi tingkat pertumbuhan harga properti akibat inflasi.
Pasar masih lebih banyak memburu unit-unit properti berharga murah, sementara sebagian emiten yang mengandalkan penjualan rumah tapak sulit untuk memenuhi permintaan tersebut mengingat harga lahan yang sudah mahal.
Hans mengatakan, kalangan broker properti menemukan permintaan properti sudah mulai meningkat lagi, tetapi geliatnya kemungkinan baru akan benar-benar terasa pada 2019-2020 setelah pemilu berakhir dan harga komoditas stabil.
“Tahun ini mungkin belum menjadi tahun yang sangat bagus bagi properti, tetapi mestinya ada recovery. Kemungkinan sudah ada return yang positif juga di sahamnya karena permintaan properti mulai agak naik, cuma belum booming,” katanya, Selasa (3/4/2018).
Ishak Chandra, Managing Director Corporate Strategy & Services Sinarmas Land, juga menilai sektor properti baru akan pulih setelah pemilu 2019 mengingat kecenderungan indeks harga properti cenderung melambat 30% hingga 60% pada 6 bulan sebelum dan setelah pemilu sejak 1992.
Menurutnya, tahun ini pun pasar properti Indonesia masih akan cenderung menunggu karena pasar yang masih mencari titik keseimbangan baru setelah memuncak pada 2010-2013, serta investor yang cenderung masih menghindari risiko membeli properti bernilai tinggi.
“Investor properti sekarang cenderung risk-averse karena properti sangat related dengan politik. Kalau ada apa-apa, susah jualnya. Mereka mau dan ada uang, tetapi risk averse sehingga cari insturmen yang lebih likuid atau unit properti yang lebih murah,” katanya.
Tahun ini, Sinarmas Land melalui BSDE juga mematok target yang tidak terlalu muluk. Bila tahun lalu realisasi marketing sales Rp7,23 triliun, tahun ini menjadi hanya Rp7,2 triliun.
Archied Noto Pradono, Direktur Pengelolaan Investasi dan Modal Intiland Development (DILD), mengatakan bahwa tahun lalu industri properti mengalami konsolidasi setelah pelemahan yang terjadi sejak 2014. Pasar belum sepenuhnya pulih.
Pendapatan perseroan pada 2017 lebih banyak ditopang oleh peningkatan pendapatan di penjualan lahan industri dan sewa. Penjualan lahan industri perseroan melonjak 578% dari Rp81,3 miliar pada 2016 menjadi Rp550,9 miliar pada 2017. Sementara itu, marketing sales dari penjualan hunian belum bisa dibukukan dalam laporan keuangan.
“Saat ini kita kerja saja dulu. Product competitiveness dan diferensiasi produk itu paling penting. Kalau tunggu market bagus, kita nggak akan kerja-kerja. Kalau nanti market bagus, anggap saja itu bonus,” katanya.
Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas, mengatakan bahwa ada peluang industri properti akan cukup membaik tahun ini, tetapi masih akan terkonsentrasi pada produk-produk di segmen harga menengah ke bawah.
Alasannya, tren suku bunga saat ini sudah tidak akan turun lagi, sementara rumah murah umumnya dibeli dengan skema KPR. Alhasil, masyarakat yang selama ini menahan belanja karena menunggu adanya penurunan suku bunga lebih lanjut kini akan mulai mempertimbangkan untuk segera belanja selagi suku bunga masih rendah.
“Pilihan saya masih BSDE karena landbanknya besar dan kondisinya jgua sekarang masih bertumbuh. Selain itu, ASRI juga masih terlihat growing dan lokasinya tersebar tidak saja di Jakarta,” katanya.
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital, menilai sektor properti masih belum akan menjadi pilihan utama bagi investasi investor di pasar modal tahun ini. Meskipun ada indikasi pemulihan kinerja tahun lalu, tetapi secara umum masih belum sesuai harapan.
Meski begitu, menurutnya kinerja sektor properti bisa diharapkan akan sedikit lebih baik dibandingkan sektor konsumer dan akan mendapat meuntungan dari perbaikan daya beli masyarakat.
“Kita melihat, masih cukup berat untuk pasar optimis di sektor properti dan konsumer. Secara keseluruhan andalan tahun ini masih komoditas dan bank,” katanya.