Bisnis.com, JAKARTA – Harga batu bara Newcastle mengalami penurunan, terimbas efek dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China seiring dengan data manufaktur China yang lebih rendah.
Harga batu bara newcastle kontrak teraktif Mei 2018 melemah 4,15 poin atau 4,30% menjadi US$92,25 per ton pada penutupan perdagangan Senin (4/2/2018), pelemahan 3 sesi berturut—turut. Angka tersebut merupakan level terendah sejak 31 Juli 2017.
Secara year to date (ytd), harga melemah 8,48% setelah ditutup di level US$101,10 per ton pada 29 Desember 2017. Sementara pada tahun lalu, harga komoditas energi tersebut tercatat menguat 31,71%.
Analis komoditas di Scotiabank Michael Loewen menuturkan bahwa perang dagang memiliki pengaruh dominan pada pelemahan harga batu bara. Menurutnya, pembalasan dari China terhadap bea impor pada baja dan aluminium yang dilakukan oleh AS telah menimbulkan kekhawatiran bagi pasar energi.
“Jika perang perdagangan terjadi antara kedua negara dan mempengaruhi pertumbuhan permintaan dari pasar negara berkembang, maka akan menimbulkan masalah yang besar,” ujar Loewen.
Dilansir Bloomberg, informasi terbaru menunjukan bahwa AS tidak menanggapi permintaan China untuk konsultasi mengenai tarif baja dan aluminium.
Baca Juga
Adapun, China baru saja melancarkan serangan bea impor sebesar 25% terhadap sejumlah produk asal AS. Kondisi tersebut menekan harga komoditas, termasuk batu bara yang juga merupakan bahan baku dari baja.
Senada, Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan bahwa faktor utama melemahnya batu bara diakibatkan sentimen dari perang dagang antara AS dan China kendati dolar AS terpantau melemah.
“Batu bara tentu terpengaruh atas bea impor AS terhadap China. Impor baja dari AS akan berimbas terhadap produksi dan menekan permintaan sehingga harga menjadi turun,” kata Ibrahim ketika dihubungi Bisnis, Selasa (3/4).
Ibrahim menambahkan bahwa perang dagang tersebut juga akan berimbas pada menurunnya ekspor dari Australia dan Indonesia sebagai negara eksportir batu bara berkalori tinggi.
Di samping itu, Ibrahim menjelaskan bahwa harga juga mendapatkan tekanan paska rilis data PMI Manufaktur China. Data tersebut menunjukkan angka 51,0 pada periode Maret 2018, lebih rendah dari 51,6 yang dicapai pada Februari 2018. Angka tersebut juga tidak sesuai dengan ekspektasi di level 51,8.
Adapun, analis Asia Trade Point Futures (ATPF) Deddy Yusuf Siregar menuturkan bahwa harga batu bara juga mendapat pengaruh dari pergerakan harga komoditas utama minyak mentah global.
“Melemahnya harga batu bara juga seiring dengan melemahnya harga minyak pada perdagangan sebelumnya,” papar Deddy kepada Bisnis, Selasa (3/4).
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent terpantau telah mengalami pelemahan sejalan dengan penurunan batu bara. Minyak WTI kontrak teraktif Mei 2018 turun ke level US$63,01 per barel pada penutupan perdagangan Senin (2/4) dari level US$64,94 per barel pada perdagangan sebelumnya di New York Merchantile Exchange.
Pada waktu yang sama, minyak Brent untuk pengiriman Juni tergelincir ke level US$67,64 per barel dari level US$70,27 per barel di ICE Futures Europe yang berbasis di London.
Di sisi lain, Deddy menuturkan bahwa berakhirnya musim dingin berpotensi membuat harga batu bara mengalami pelemahan. Sementara naiknya produksi batu bara China turut menambah tekanan, bahkan ketika Pemerintah China tengah melakukan reformasi pasokan.
“Harga batu bara diperkirakan bergerak dalam rentang bearish, yaitu di kisaran US$88,70—US$91,50 per ton pada pekan ini,” tambahnya.