Bisnis.com, JAKARTA — Harga tembaga mengalami tren menurun dalam waktu dekat akibat langkah investor yang menghitung ulang volume permintaan China sebagai konsumen terbesar di dunia.
Pada penutupan perdagangan Kamis (11/5/2017), harga tembaga di bursa London Metal Exchange (LMEnaik 42,50 poinn atau 0,77% menuju US$5.543 per ton. Harga rebound dari US$5.486 per ton pada Senin (8/5/2017) yang merupakan level terendah sejak 29 November 2016.
Sepanjang tahun berjalan, harga tembaga meningkat 0,14%. Tahun lalu, harga tembaga tumbuh 16,91% dan ditutup di level US$5.535 pada 30 Desember 2016.
Huatai Futures dalam risetnya yang dikutip dari Bloomberg, menyampaikan ketidakpastian China kini membayangi prospek pasar tembaga. Apalagi periode puncak permintaan pada April—Mei seiring dengan meningkatnya aktivitas manufaktur akan terlewati.
“Akan sulit bagi harga tembaga saat ini mendapatkan dorongan dari sisi permintaan,” tulis Huatai, Jumat (12/5/2017).
Pada awal pekan ini, Bea Cukai China menyatakan impor tembaga olahan pada April 2017 turun 30% month on month (mom) menjadi 300.000 ton. Kondisi ini berbalik dari performa pada tiga bulan pertama 2017.
Pengapalan masuk bijih tembaga dan tembaga olahan ke China pada Maret 2017 meningkat 26% mom menjadi 430.000 ton dari 340.000 ton pada bulan sebelumnya. Pada kuartal I/2017, impor tembaga Negeri Panda meningkat 8,5% year on year (yoy) menjadi 4,31 juta ton.
Direktur utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan harga tembaga wajar mengalami koreksi setelah sebelumnya mengalami reli signifikan sejak awal 2017. Dua faktor yang menjadi pertimbangan pasar saat ini ialah menurunnya impor China dan bertumbuhnya stok di LME.
"Pasar beralih karena sebenarnya posisi beli menyebabkan harga terlalu tinggi. Perlu ada penyesuaian sehingga harga koreksi," tuturnya saat dihubungi.
Menurutnya, wajar bila harga mengalami penurunan karena sudah naik terlampau tinggi. Sebelumnya faktor gangguan suplai dari sejumlah tambang raksasa di Cile, Indonesia, dan Peru menjadi pertimbangan utama pasar dalam memacu pembelian tembaga pada awal 2017.
Selain itu, investor mengantisipasi lonjakan permintaan dari Amerika Serikat yang berencana menggenjot pembangunan infrastruktur di bawah kepemimpinan Donald Trump. Sang taipan properti berencana menggelontorkan belanja infrastruktur sebesar US$1 triliun.
Ibrahim beranggapan spekulasi terhadap peningkatan permintaan AS cenderung berlebihan, karena sekarang pasar kecewa rencana tersebut tidak kunjung teralisasi. Dalam bursa berjangka, investor memang selaku melakukan aksi beli atau jual lebih dahulu berdasarkan sejumlah proyeksi.
Adapun masalah pasokan sebenarnya masih membayangi, terutama dari tambang Grasberg di Indonesia. Sekitar 8.000 pekerja di tambang penghasil tembaga kedua terbesar di dunia itu melakukan aksi mogok kerja pada 1 Mei-30 Mei 2017. Aksi tersebut berpotensi menghambat rencana PT Freeport Indonesia (PTFI) yang ingin meningkatkan produksi dan ekspor.
"Sebenarnya masih ada masalah dari sisi fundamental, terutama suplai. Cuma saat ini pasar yang sedang mengambil sikap jual karena antisipasi perlambatan permintaan China," tuturnya.
Merosotnya permintaan tembaga dari Negeri Panda terjadi karena perubahan sistem ekonomi dari sebelumnya yang mengandalkan infrastruktur dan manufaktur menjadi sektor jasa dan konsumsi. Namun, masih ada peluang konsumsi China bertumbuh seiring dengan menggeliatnya aktivitas industri.
Di samping faktor suplai dan permintaan, pasar juga sedang mencari arah perihal peningkatan suku bunga Federal Reserve dari pidato sejumlah pejabat cabang Bank Sentral AS pada pekan ini. Berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (9/5), probabilitas penaikkan Fed Fund Rate (FFR) dalam Federal Open Market Committee (FOMC) 14 Juni 2017 mencapai 100%.
Ada kemungkinan pada pekan ini harga tembaga juga oleh sentimen The Fed. Pasalnya, sentimen hawkish membuat dolar AS menguat, sehingga membuat harga komoditas berdenominasi greenback menjadi lebih mahal bagi pengguna mata uang lainnya.
Ibrahim memprediksi harga tembaga berpeluang besar kembali mencapai level US$5.750 per dolar AS pada tahun ini, sesuai dengan proyeksi Bank Dunia. Namun, ketika melampaui posisi US$6.000 per ton, harga rentan mengalami koreksi.
Dalam laporan Commodity Markets Outlook April 2017, Bank Dunia memprediksi harga rerata harga tembaga pada tahun ini akan meningkat 18,12% menuju US$5.750 per ton dari sebelumnya US$4.868 per ton. Sentimen utama yang mendorong harga ialah terganggunya suplai dari sejumlah tambang di Cile, Indonesia, dan Peru akibat pemogokan kerja.