Bisnis.com, JAKARTA - Harga alumunium diprediksi mengalami penguatan sampai akhir Juni 2017 akibat faktor fundamental yang masih positif, terutama dari China.
Pada penutupan perdagangan Senin (24/4/2017), harga alumunium di London Metal Exchange naik 12,5 poin atau 0,65% menjadi US$1.946 per ton. Angka ini menunjukkan kenaikan 14,94% sepanjang tahun berjalan (year ton date/ytd), tertinggi dibandingkan logam lainnnya.
Tahun lalu, harga aluminium tumbuh 12,34%. Per 30 Desember 2016, harga berada di posisi US$1.693 per ton.
Andri Hardianto, analis Asia Trade Point Futures, menuturkan sentimen China masih menjadi aktor utama dalam penguatan harga aluminium. Berdasarkan data Bank Dunia, China merupakan produsen sekaligus konsumen aluminium terbesar di dunia.
Pada 2015, produksi aluminium Negeri Panda mencapai 31,41 juta ton dari total global 57,34 juta ton, sedangkan konsumsi sebesar 31,07 juta ton dari total global 57,08 juta ton.
Peningkatan harga logam anti karat ini dimulai setelah Ministry of Environmental Protection (MEP) China mengarahkan pelaku usaha untuk mengurangi poduksi sekitar 30% untuk industri smelter aluminium.
MEP juga memangkas 50% volume industri penyulingan di provinsi Shandong, Shanxi, Hebei, dan Henan. Kebijakan ini berlangsung mulai November 2016 sampai dengan Maret 2017. Keempat provinsi ini berkontribusi terhadap 20% total produksi aluminium global.
"Faktor China menjadi sentimen positif terhadap aluminium," ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (25/4/2017).
Di sisi lain, ada peningkatan konsumsi di China seiring dengan kenaikan sektor konstruksi pada musim semi. Secara historis pembelian logam termasuk aluminium dan bauksit bertumbuh karena perusahaan pengolahan membutuhkan lebih banyak bahan baku.
Andri memprediksi, harga aluminium masih akan meningkat karena faktor fundamental yang positif. Dia memprediksi harga cenderung menguat terbatas sampai akhir Juni 2017 menuju US$1.970 per ton.