Bisnis.com, JAKARTA--Harga nikel diprediksi menurun pada kuartal terakhir seiring dengan pulihnya gangguan pasokan dari Filipina sebagai produsen terbesar di dunia.
Harga nikel LME pada penutupan perdagangan Jumat (23/9) stagnan di posisi US$10.660 per ton. Anga tersebut menunjukkan harga sudah naik 20,86% sepanjang tahun berjalan.
Ed Morse, analis Citigroup Inc., menyampaikan reli harga nikel tidak akan bertahan pada kuartal terakhir 2016. Pasalnya, pasokan dari Filipina bakal bertambah setelah adanya audit pertambangan.
Penutupan delapan industri tambang membuat produksi nikel Filipina berkurang 3% sepanjang paruh pertama 2016. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2015 Filipina memproduksi nikel sebanyak 317.000 ton dari total output global sejumlah 1,884 juta ton.
Adapun Indonesia merupakan produsen ke enam terbesar dengan kontribusi 106 ton. Angka ini jatuh dari produksi 2013 sejumlah 811 ton.
Sementara China menjadi produsen nikel olahan sejumlah 575.000 ton dari total output dunia 1,916 juta ton. Negeri Panda juga menjadi konsumen nikel olahan terbesar, yakni 964.000 ton dari total penyerapan global sejumlah 1,933 juta ton.
China membuat nickel pig iron (NPI), yakni feronikel kelas rendah yang digunakan dalam pembuatan stainless steel.
Pada paruh kedua 2016, produsen utama di Filipina, seperti Nikel Asia dan Feronikel Holdings bakal meningkatkan produksi dan ekspor. Menteri Lingkungan Gina Lopez mengatakan adan 10 perusahaan lagi yang akan ditutup.
Meskipun demikian, Morse berpendapat dampak dari audit yang dirilis pada minggu ini dan penambahan produksi bisa menjadi tekanan terhadap harga. "Ada beberapa indikasi pasar nikel semakin sesak," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (26/9/2016).
Menurut catatan Citigroup, Filipina hanya akan menutup lima sampai dengan enam tambang, tidak seperti yang dinyatakan Menteri Lopez. Di sisi lain, pasokan dari negara lain seperti Indonesia diprediksi meningkat sehingga menutupi pengurangan suplai dari Filipina.
Citigroup memprediksi rerata harga nikel pada kuartal III/2016 mencapai puncaknya senilai US$10.300 per ton. Namun, harga bakal terkoreksi pada kuartal IV/2016 menuju ke US$9.9770 per ton, kemudian rerata harga 2017 senilai US$9.550 per ton.