Bisnis.com, JAKARTA--Sebagai produsen tembaga olahan terbesar di dunia, China menaikkan produksi ke level tertinggi dalam enam bulan terakhir seiring dengan ekspansi smelter dalam negeri. Sentimen tersebut memberikan efek negatif terhadap harga.
Pada perdagangan Senin (19/9) pukul 17:42 WIB harga tembaga di bursa Comex turun 1,15 poin atau 0,53% menjadi US$214,85 per pon. Adapun harga tembaga di London Metal Exchange (LME) meningkat 7 poin atau 0,15% menuju US$4.788 per ton pada penutupan perdagangan Jumat (16/9).
Kemarin, KBiro Statistik Nasional China mengumumkan produksi tembaga olahan pada bulan lalu naik menjadi 743.000 ton dibandingkan Juli 2016 sebesar 722.000 ton dan 663.000 ton pada Agustus 2015. Artinya dalam delapan bulan yang bergulir sepanjang tahun ini, produksi naik 8,7% secara year-on-year (yoy) menuju rekor 5,5 juta ton.
Industri Smelter di Negeri Panda menggenjot produksi untuk meningkatkan margin keuntungan. Pembiayaan belanja modal dari penambangan bijih hingga proses menjadikan logam dalam periode Juli--Agustus 2016 mencapai US$105 per ton.
Angka tersebut, merupakan level tertinggi sejak awal 2015 menurut survei Bloomberg Intelligence. Faktor ini mendorong industri smelter meningkatkan impor bijih dan konsentrat, serta memangkas pembelian tembaga olahan dari luar negeri.
Bernard Dahdah, analis Natixis dalam publikasinya memaparkan, permintaan tembaga kasar meningkat 6,7% (yoy) pada semester I/2016 seiring naiknya penyerapan China. Faktor yang menjadi pemicu ialah pelemahan yuan, meningkatnya kredit, dan peluncuran stimulus dari pemerintah.
Namun, pada paruh kedua 2016 peningkatan permintaan hanya akan tumbuh 5% (yoy). "Diperkirakan permintaan tembaga China menurun 100--250 ton, sehingga pencapaian semester kedua menurun," paparnya dalam riset.