Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai produsen sekaligus konsumen minyak mentah terbesar di dunia, Amerika Serikat memperkirakan harga komoditas tersebut mulai stabil pada tahun depan seiring dengan seimbangnya tingkat pasokan dan permintaan.
Setelah pertemuan para menteri energi yang tergabung dalam G-7 di Jepang, Menteri Energi AS Ernest Moniz menyampaikan, suplai dan penyerapan minyak mentah global akan mulai seimbang dalam setahun ke depan.
Paman Sam masih dalam upaya mengurangi produksi harian di bawah 9 juta barel per hari, tetapi tingkat persediaan masih terus bertambah di atas 500 juta barel.
Indikasi keseimbangan mulai terlihat ketika harga minyak yang mencapai level terendah dalam 12 tahun terakhir pada Januari berhasil naik hampir 20% sepanjang bulan lalu.
Selain produksi AS yang lebih rendah, penguatan harga juga mendapat sentimen positif dari melemahnya dolar.
Namun, lanjut Moniz, pelaku pasar masih skeptis tentang keberlanjutan reli harga di tengah pasokan global yang berlebihan.
"Kenaikan harga belakangan ini bukan menjadi alasan bagi produsen untuk mengubah tren investasi mereka. Pasar masih belum seimbang [pasokan dan permintaan]," tuturnya seperti dikutip dari Reuters, Senin (2/5/2016).
Data U.S. Energy Information Administration (EIA) menunjukkan produksi minyak mentah AS turun menjadi 8,94 juta barel per hari pada pekan yang berakhir 22 April, terendah sejak Oktober 2014.
Dalam waktu yang sama, konsumsi bensin domestik naik 5,6% secara tahunan (y-o-y) menuju ke 9,4 juta barel per hari.
EIA memperkirakan rerata output sepanjang 2016 sebesar 8,6 juta barel per hari.
Adapun pada Mei 2016, tingkat output akan kembali mencapai level terendah dalam dua tahun terakhir.
Francisco Blanch, Head of Commodities Bank of America Merrill Lynch, menuturkan jatuhnya pasokan AS secara cepat membuat tingkat pasokan global mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam lebih tiga tahun terakhir.
Kombinasi rendahnya suplai dan permintaan yang menguat akan menyebabkan perubahan dinamika persediaan di semester II/2016.
Sementara itu, pada perdagangan Senin (2/5) pukul 17:33 WIB harga minyak Brent kontrak Juli 2016 turun 0,51 poin atau 1,08% menjadi US$46,86 per barel.
Sedangkan minyak WTI kontrak Juni 2016 berada di level US$45,58 per barel, merosot 0,33 poin atau 0,74%.
Faktor utama yang menjatuhkan harga minyak ialah meningkatnya produksi OPEC yang melampaui sentimen penurunan AS.
Menurut survei Reuters, suplai OPEC pada April naik 0,52% menjadi 32,64 juta barel dari bulan sebelumnya sebesar 32,47 barel.
Angka tersebut hampir menyentuh level produksi Januari ketika Indonesia kembali bergabung yang menjadi penyedotan tertinggi sejak 1997 sejumlah 32,65 juta barel per hari.
ANZ Bank berpendapat momen melemahnya dolar seharusnya membuat negara-negara yang menggunakan mata uang lain memeroleh keuntungan dalam melakukan impor.
Namun, naiknya produksi OPEC membuat investor di pasar minyak urung bergairah dalam melakukan pembelian.