Bisnis.com, JAKARTA--Perusahaan pelat merah tidak khawatir dan justru mendukung dengan adanya aturan baru yang diterbitkan Bank Indonesia terhadap utang valuta asing.
Handrito Hardjono, Direktur Keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., menilai beleid yang dikeluarkan oleh BI akan baik bagi emiten termasuk badan usaha milik negara (BUMN).
"Memang diperlukan kehati-hatian dari pihak swasta atau BUMN untuk pengelolaan utang," ungkapnya melalui pesan singkat, Kamis (6/11/2014).
Manajemen Garuda, sambungnya, telah mendapatkan sosialisasi dari BI terkait aturan rasio pengelolaan utang luar negeri (ULN) korporasi swasta non bank.
Aturan itu termaktub dalam Peraturan BI tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank yang dirilis, Kamis (30/10). Beleid tersebut mengatur tentang kewajiban rasio lindung nilai (hedging) dan rasio likuiditas.
Rasio hedging menentukan persentase keharusan korporasi melakukan hedging dari total nilai utang valasnya. Adapun, rasio likuiditas mengukur ketersediaan aset valas untuk memenuhi kewajiban valas dalam kurun waktu 3 bulan ke depan.
Penerapannya dibagi dalam 2 tahap, yakni per 1 Januari 2015 dan tahap kedua per 1 Januari 2016. Perusahaan diwajibkan untuk melaporkan posisi keuangannya pada BI per triwulan dan membuat laporan akhir tahun secara komprehensif.
Handrito mengakui untuk utang luar negeri, pihaknya juga memerlukan persetujuan pinjaman komersial luar negeri (PKLN). Dia memastikan emiten berkode saham GIAA itu juga telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menarik PKLN.
"Sejauh ini kami selalu memperoleh ijin PKLN untuk utang luar negeri sehingga sebagian dari aturan tersebut pasti sudah diterapkan juga selama ini," paparnya.
Hingga kuartal III/2014, Garuda tercatat memiliki utang valas sebesar US$800 juta atau setara dengan Rp9,6 triliun. Rasio utang terhadap ekuitas Garuda itu telah memasuki masa kritis.
Menurutnya, debt to equity ratio (DER) Garuda yang tercatat mencapai 1,1 kali, dinilai terlalu ketat untuk mendukung kinerja perseroan.
"Target DER tetap 1,1 kali, kalau lebih dari itu agak berat balance sheet-nya," ujarnya.
Hingga akhir Juni 2014, total utang Garuda mencapai US$1,2 miliar dengan nilai ekuitas mencapai US$1 miliar. Sehingga, katanya, DER perseroan mencapai 1,1 kali dengan utang jatuh tempo tahun ini mencapai US$200 juta-US$300 juta.
Direktur Keuangan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. M. Riza Pahlevi mengatakan perseroan melakukan hedging valuta asing terutama dalam bentuk Yen mencapai 33% dari total.
"Yen kami mencapai 30% dari total utang PGN, kami melakukan hedging," ujarnya baru-baru ini.
Dia menyebutkan perseroan masih akan mengkaji untuk kembali mengajukan pinjaman dalam Valas. Pinjaman tersebut berupa valas karena dinilai pendapatan dan laporan keuangan emiten berkode saham PGAS itu dalam bentuk dolar AS.
Kendati demikian, hingga saat ini, PGN belum memerlukan tambahan dana pinjaman. Pasalnya, pendanaan tersebut belum banyak diperlukan untuk membiayai ekspansi ke depan.
PGN pada 16 Mei 2014 telah menerbitkan obligasi global dengan nilai US$1,35 miliar. Global bond berkupon 5,125% dengan tenor 10 tahun itu digunakan untuk menambah modal kerja dan pengembangan infrastruktur gas.
Manajemen PGN juga telah mendandatangani perjanjian fasilitas pinjaman sindikasi senilai US$650 juta dengan jangka waktu 5 tahun.
Sindikasi perbankan itu adalah Australian and New Zealand Banking Group Limited (ANZ), The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ,Ltd (BTMU), Citigroup Global Markets Singapore Pte.Ltd (Citi), The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC).