Bisnis.com, NEW YORK - Harga minyak mentah dunia berakhir bervariasi pada Jumat (Sabtu pagi WIB), di tengah ketakutan pasar oleh data ekonomi China yang lemah dan kekhawatiran tentang permintaan energi global, terutama di pasar negara berkembang.
Minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret, acuan kontrak berjangka AS, turun 68 sen menjadi ditutup pada US$96,64 per barel di New York Mercantile Exchange.
Di perdagangan London, kontrak utama Eropa, minyak mentah Brent North Sea untuk penyerahan Maret, naik 30 sen menjadi US$107,88 per barel.
Pasar berada di bawah tekanan dari kekhawatiran atas prospek pertumbuhan di China, konsumen energi terbesar dunia, setelah HSBC awal pekan ini melaporkan bahwa manufaktur China mengalami kontraksi pada Januari.
"Data manufaktur yang lemah tidak hanya menurunkan ekspektasi permintaan dari China tetapi tampaknya menempatkan selubung pada pasar negara berkembang di seluruh dunia," kata Phil Flynn dari Price Futures Group.
Mata uang lira Turki terus terjun, mencapai rekor terendah terhadap dolar pada Jumat meskipun bank sentral melakukan intervensi besar hari sebelumnya.
Rubel Rusia mencapai rekor terendah terhadap euro dan melemah terhadap dolar ke terendah hampir lima tahun. Peso Argentina jatuh 11 persen pada Kamis, yang merupakan penurunan terbesar sejak 2002.
Saham Wall Street merosot sekitar 2% pada Jumat, di tengah kerugian tajam ekuitas di Eropa.
"Meskipun kantong-kantong ketegangan geopolitik naik di seluruh dunia, mulai dari ledakan di Mesir, protes yang sedang berlangsung [terhadap undang-undang anti-protes] di Ukraina, gagal gencatan senjata di Sudan Selatan dan pembicaraan damai Suriah mogok, minyak mentah sedang tersapu oleh gelombang 'bearish' di pasar yang lebih luas," Matt Smith dari Daily Distillation mengatakan dalam sebuah catatan penelitian.
"Hilangnya kepercayaan memperlihatkan sebuah pelarian dari risiko di pasar negara berkembang, yang beriak hingga ke mata uang, obligasi, negara-negara maju dan komoditas."