Bisnis.com, JAKARTA— Pergerakan harga minyak mendapat sentimen berbeda, terutama dari Amerika Serikat dan Iran.
Analis PT Monex Investindo Futures Zulfirman Basir mengatakan dinginnya musim dingin yang dialami AS, dan redanya kekhawatiran akan kebijakan pengurangan stimulus (tapering off) bank sentral AS The Federal Reserve dapat memberikan harapan, bakal masih tangguhnya permintaan dari konsumen energi terbesar di dunia tersebut.
“Namun, investor juga cemas dengan prospek melimpahnya suplai minyak dunia, seiring akan mulai dilonggarkannya sanksi ekonomi Iran pada 20 Januari,” kata Zulfirman dalam risetnya yang diterima hari ini, Senin (13/1/2014).
Zulfirman mengatakan pada grafik harian, terbentuknya pola candle stick “hammer” dan indikator Stochastic yang berada di area oversold, dapat menyediakan kesempatan naik bagi minyak.
Namun, kenaikan masih bersifat bargain-hunting dan mungkin terbatas hingga MA 50 (US$95.50 per barel).
Sentimen masih bearish, seiring minyak masih diperdagangkan di bawah MA (Moving Average) 50-100-200 dan turunnya indikator MACD.
Meski demikian, minyak perlu mencatatkan level penutupan harian di bawah support US$91,20 untuk memicu kejatuhan yang lebih dalam. Kegagalan mengatasi support tersebut dapat memicu keberlanjutan aksi bargain hunting.
“Outlook minyak masih bearish. Namun tajamnya kejatuhan sejak akhir Desember dapat memberikan kesempatan bargain-hunting,” kata Zulfirman.
Dengan demikian, tambahnya, posisi long lebih sesuai dengan stop-loss $91,10 per barel. Resisten berada di US$93,35 dan US$95,55 per barel (harga tertinggi 9 Januari dan MA 50). Support pada US$91,20 dan US$90,10 per barel (harga terendah 9 Januari dan 1 Mei) merupakan support.