SURABAYA: Beban utang dan ketergantungan bahan baku impor membuat PT Suparma Tbk kesulitan menentukan proyeksi perolehan laba bersih tahun ini menyusul lonjakan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar belakangan ini. Hendro Luhur Direktur PT Suparma mengatakan kenaikan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar yang sudah diatas Rp9.500 US Dollar tidak nyaman untuk kenerja perseroan. Apalagi buat industri manufaktur yang masih bergantung dengan bahan baku impor.Untuk Suparma misalnya, ungkap Hendro, tren kenaikan nilai tukar tersebut berdampak pada kinerja laba dari perseroan. "Bahkan dalam RUPS yang berlangsung hari ini kami belum bisa menyusun target laba yang ingin diperoleh perseroan pada tahun ini, ujarnya pada paparan publik Suparma di Surabaya hari ini.RUPS, lanjutnya, hanya menyetujui pembagian dividen senilai Rp11,9 miliar atau Rp8 per lembar saham. Porsi dividen ini mencapai 36% dari total laba bersih perseroan selama 2011 sebesar Rp33,1 miliar. Begitu juga dengan penetapan target penjualan bersih 2012 sebanyak Rp1,3 triliun.Hendro mengatakan untuk kinerja laba bersih masih tergantung pada kondisi makro Indonesia. Terutama menyangkut fluktuasi yang terjadi pada nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar.Pasalnya 35% dari bahan baku yakni pulp dengan serat panjang masih harus impor. Sementara itu perseroan juga masih memiliki beban utang dalam bentuk US Dollar. Per Desember 2011 posisi pinjaman tersebut tercatat US$34 juta.Selain itu kenaikan nilai tukar ini akan menyababkan kenaikan beban bunga. Bahkan jika nilai tukar tersebut tembus Rp10.000 per US Dollar akan ada kenaikan beban bunga sebesar 5,5%."Kalaupun melakukan hedging kenaikannya sudah terlanjur tinggi. Kami khawatir setelah dilakukan penguncian trennya berbalik turun," ungkap Hendro.(api)
BACA JUGA:
Tender 3G molor, pemerintah bisa kena sanksi
Grasi Corby, apakah ada deal RI dengan Australia?
Sweeping software bajakan, BSA digugat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel