Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

2017, Batu Bara Diprediksi Jadi Komoditas Paling Hot

Batu bara diprediksi menjadi komoditas terbaik pada 2017 karena pergerakan harga yang lebih stabil dibandingkan produk lainnya seperti minyak mentah dan minyak kelapa sawit (CPO).
Kegiatan penambangan batu bara di Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur/Reuters-Zevanya Suryawan
Kegiatan penambangan batu bara di Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur/Reuters-Zevanya Suryawan

Bisnis.com, JAKARTA - Batu bara diprediksi menjadi komoditas terbaik pada 2017 karena pergerakan harga yang lebih stabil dibandingkan produk lainnya seperti minyak mentah dan minyak kelapa sawit (CPO).

Andy Wibowo Gunawan, Senior Analyst PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, mengatakan secara fundamental batu bara memiliki potensi harga yang lebih positif dibandingkan komoditas utama lainnya. Pasalnya, China sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar di dunia masih memegang kendali terhadap pasar.

Mulai April 2016 pemerintah China menetapkan pemangkasan waktu kerja perusahaan batu bara dari 330 hari per tahun menjadi 276 hari per tahun. Sejak itulah harga batu bara menunjukan tren menanjak.

Tahun lalu, harga mencapai titik terendah US$41,35 per ton pada 18 Januari 2016, dan level tertinggi US$100 per ton pada 11 November 2016. Sepanjang tahun kemarin, harga melonjak 101,87%.

Namun, sambung Andy, harga batu bara pada tahun ini diprediksi stabil dengan rerata US$75 per ton. Pada penutupan perdagangan Rabu (25/1), harga batu bara Newcastle kontrak Februari 2017 meningkat 0,25 poin atau 0,3% menjadi US$84,2 per ton, turun 8,29% year to date (ytd).

"Sejak awal tahun sampai sekarang harga masih di atas US$80-an per ton. Kemungkinan harga akan mencapai rerata US$75 per ton pada 2017. Sentimen China masih menjadi faktor utama," tuturnya, Kamis (26/1/2017).

Pada 11 Januari 2017, National Development and Reform Commission (NDRC), China Electricity Council, dan China Iron and Steel Industry Association menandatangani nota kesepahaman untuk menstabilkan harga batu bara. Kerjasama antara ketiga pihak juga membentuk mekanisme peringatan untuk memantau fluktuasi harga batu bara termal.

Sementara harga minyak mentah menurutnya akan berada di kisaran US$55 per barel, dan paling tinggi US$60 per barel. Bahkan cukup sulit bagi harga untuk memanas ke posisi US$60 per barel.

Andy menyampaikan, penyebab harga minyak tidak terlalu panas ialah karena adanya kemungkinan OPEC tidak memangkas produksi sesuai dengan kesepakatan. Hal ini berdasarkan pada catatan historis organisasi tidak pernah 100% menepati janji.

Pada akhir 2016, OPEC dan negara produsen minyak lainnya sepakat memangkas suplai sebesar hampir 1,8 juta barel per hari (bph) pada paruh pertama 2017. Sentimen ini sukses mengangkat harga ke atas US$50 per barel.

Adapun OPEC berjanji memangkas produksi sebesar 1,2 juta bph menjadi 32,5 juta bph. "Karena OPEC suka curang berdasarkan perjanjian pangkas produksi yang dahulu, jadi minyak sulit ke US$60 per barel," ujarnya.

Walaupun demikian, peningkatan harga minyak sebagai komoditas strategis turut memberikan sentimen positif bagi komoditas lainnya. Pada perdagangan Kamis (26/1) pukul 17:50 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak Maret 2017 naik 0,12 poin atau 0,23% menuju US$52,87 per barel, tetapi turun 3,27% ytd.

Sementara untuk CPO, Mirae Asset Sekuritas menaikkan proyeksi harga 2017 menjadi 2.950 ringgit per ton dari estimasi sebelumnya senilai 2.750 ringgit per ton. Kemarin pada pukul 17:00 WIB, harga CPO di bursa Malaysia kontrak April 2017 tergelincir 38 poin atau 1,22% menuju 3.087 ringgit (US$696,59) per ton, tetapi naik 0,88% ytd.

Menurut Andy, sampai paruh pertama 2017 harga CPO masih stabil di atas level 3.000-an ringgit per ton karena belum pulihnya produksi akibat cuaca hujan di Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Dalam kondisi curah hujan yang tinggi volume panen tidak akan sebesar saat cuaca normal.

Terdongkraknya harga CPO juga disebabkan proyeksi pelemahan ringgit terhadap dolar AS. Sekitar 80% minyak kelapa sawit di Malaysia dijual ke pasar ekspor, sehingga pelemahan mata uang ringgit membuat harga menjadi lebih murah bagi pengguna mata uang lainnya.

Dari sisi permintaan, tumbuhnya konsumsi India dan Indonesia memberikan sentimen positif dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek tingkat permintaan masih belum menggembirakan.

"Pemintaan CPO masih so-so. Serapan CPO untuk biodiesel juga belum menarik, karena harga minyak belum akan di atas US$60 per barel. Masih lebih murah pakai minyak," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper