Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar Melemah di Tengah Aksi Jual Wall Street dan Kebijakan Tarif Trump

Dolar AS melemah terhadap sebagian besar mata uang utama seiring meningkatnya kekhawatiran investor terhadap dampak perang dagang dari pemerintahan Trump.
Karyawan memperlihatkan mata uang Rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing di Jakarta, Selasa (12/11/2024)./JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan memperlihatkan mata uang Rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing di Jakarta, Selasa (12/11/2024)./JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Dolar AS melemah terhadap sebagian besar mata uang utama pada Kamis (6/3/2025) seiring meningkatnya kekhawatiran investor terhadap dampak perang dagang yang dipicu oleh pemerintahan Trump.

Aksi jual di pasar saham AS semakin memperburuk sentimen terhadap dolar, mendorong investor beralih ke aset safe-haven.

Ketidakpastian mengenai dampak ekonomi dari tarif impor yang diberlakukan AS menjadi faktor utama pelemahan dolar. Namun, mata uang ini memangkas sebagian kerugiannya setelah Presiden Trump mengumumkan pengecualian sementara untuk barang dari Kanada dan Meksiko selama satu bulan, hanya dua hari setelah tarif tersebut diberlakukan.

"Narasi seputar tarif telah berubah—sekarang lebih dianggap sebagai hambatan bagi pertumbuhan ekonomi," kata kepala perdagangan Moneycorp Eugene Epstein.

Ia menambahkan bahwa banyak perusahaan AS sangat bergantung pada perdagangan global, sehingga pembatasan impor dan ekspor dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi AS.

Di tengah ketidakpastian ini, yen Jepang dan franc Swiss—mata uang yang sering dianggap sebagai aset aman—melonjak.

Dolar AS melemah 0,6% terhadap yen menjadi 147,96 yen, setelah sempat menyentuh level terendah dalam lima bulan di 147,31. Sementara terhadap franc Swiss, dolar turun ke level terendah dalam tiga bulan di 0,8825 sebelum diperdagangkan pada 0,8838, turun 0,8%.

Dolar juga melemah terhadap mata uang komoditas seperti dolar Kanada dan dolar Selandia Baru, serta mata uang negara berkembang termasuk peso Meksiko, rand Afrika Selatan, dan lira Turki.

Di sisi lain, euro mencatat kenaikan signifikan setelah Bank Sentral Eropa (ECB) memangkas suku bunga untuk keenam kalinya dalam sembilan bulan. Meski demikian, bank sentral tersebut menaikkan proyeksi inflasi jangka pendeknya, mendorong penguatan mata uang tunggal.

Euro sempat mencapai US$1,0854 sebelum turun ke $1,0784, namun tetap mencatat kenaikan sekitar 4% sepanjang pekan ini, yang merupakan lonjakan mingguan terbesar sejak Maret 2020.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper