Bisnis.com, JAKARTA — Kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI) hilang hingga Rp935 triliun pada awa tahun ini seiring dengan koreksi IHSG. Bukan tanpa alasan, tekanan jual dari investor asing hingga mode wait and see investor domestik menjadi penekan bursa saham.
Berdasarkan data BEI, kapitalisasi pasar atau market cap menyusut hingga Rp935 triliun pada periode tahun berjalan (year-to-date) per 14 Februari 2025 dari posisi pada akhir 2024 sebesar Rp12.336 triliun.
Adapun, di sepanjang pekan lalu, market cap bursa mengalami penurunan sebesar 1,67% secara mingguan menjadi Rp11.401 triliun.
Kapitalisasi pasar di Bursa turun seiring dengan kinerja IHSG yang meloyo pada awal 2025. IHSG memang menguat 0,38% ke level 6.638,45 pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (14/2/2025). Namun, IHSG terpuruk 6,24% ytd atau menjadikannya indeks dengan performa terburuk di kawasan Asia Pasifik.
VP Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi menjelaskan pelemahan IHSG pada perdagangan awal 2025 disertai dengan larinya dana asing keluar dari Tanah Air. Tercatat, nilai jual bersih atau net sell asing di pasar saham Indonesia mencapai Rp10,51 triliun.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh sentimen kebijakan moneter di mana Ketua The Fed Jerome Powell memberikan sinyal pemangkasan suku bunga yang lebih hati-hati pada 2025.
"Sehingga ini membuat narasi higher for longer mendorong peralihan ke aset low risk hingga safe haven," kata Audi pada akhir pekan lalu (14/2/2025).
Selain itu, terdapat sentimen kebijakan tarif yang diterapkan Presiden AS Donald Trump yang mengumumkan pengenaan tarif impor 25% untuk baja dan aluminium.
Faktor pelemahan pasar lainnya adalah rilis kinerja emiten yang tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Hal ini cenderung membuat investor cenderung melakukan rebalancing portofolio.
Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata juga mengatakan kejatuhan IHSG pada awal 2025 merupakan dampak dari sentimen pasar global, terutama dari kebijakan perdagangan AS.
“Kebijakan perdagangan AS di bawah Donald Trump menerapkan tarif terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Namun, di sela-sela itu, terdapat penundaan terhadap tarif Kanada dan Meksiko, yang menambah ketidakpastian,” ujarnya.
Kondisi makroekonomi Indonesia turut memberikan tekanan. Liza menuturkan deflasi dan pertumbuhan ekonomi yang meleset dari asumsi makro 2024, kendati masih bertahan di level 5%, menjadi faktor lain yang membebani indeks.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.