Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah tercatat tidak pernah kembali menyentuh level Rp15.000 sejak awal tahun dan cenderung terus melemah di hadapan dolar AS. Sejumlah sektor saham pun terdampak akibat depresiasi rupiah ini.
Head of Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi menuturkan emiten yang memiliki utang dalam dolar AS akan semakin berdampak negatif akibat pelemahan rupiah ini, sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
"Emiten dengan utang dalam dolar AS, terlebih dengan dominasi 50% akan cenderung semakin tertekan dengan pembayaran utang yang lebih tinggi dalam rupiah," ucap Audi, Jumat (7/2/2025).
Pelemahan rupiah ini menurutnya membawa dampak yang berbeda bagi sejumlah emiten di sektor tertentu. Adapun, emiten yang tertekan akibat depresiasi rupiah ini adalah emiten yang berorientasi impor, seperti farmasi yang bahan baku obatnya masih didominasi impor, serta industri otomotif yang komponennya juga diimpor dalam dolar AS.
Di sisi lain, depresiasi rupiah bisa membawa dampak positif kepada emiten yang berorientasi ekspor, seperti komoditas batu bara, nikel, dan minyak mentah, serta manufaktur.
Selain itu, lanjut Audi, sektor hospitality juga mendapatkan dampak positif seiring dengan potensi meningkatkan kunjungan wisatawan asing di tengah biaya yang lebih rendah.
Lebih lanjut, kata Audi, pelemahan rupiah terhadap dolar AS pada awal tahun ini disebabkan penguatan indeks dolar AS dan tertahannya suku bunga acuan AS pada pertemuan Januari 2025.
"Kami berpandangan fluktuasi yang terjadi saat ini memberikan pesan ketidakstabilan dalam negeri, sehingga menyebabkan investor cenderung mencari alternatif aset berisiko rendah," kata Audi.
Tekanan ini terlihat dari asing yang melakukan aksi net sell mencapai Rp7 triliun sejak awal tahun di seluruh perdagangan. Terlebih, lanjutnya, pelemahan juga didorong sentimen perang dagang yang semakin membuat perpindahan investasi ke dalam aset yang lebih stabil hingga safe haven, seperti emas.
"Kami berpandangan jika BI lebih agresif dibandingkan Fed dalam relaksasi kebijakan suku bunga, dampaknya justru akan lebih negatif terhadap Rupiah. Sehingga perlu adanya langkah yang lebih konservatif di tengah dinamika saat ini," ujarnya.
Meski demikian, kami berpandangan spread 125bps antara FFR dan BI rate saat ini masih mampu menjadi daya tarik investor dan menahan fluktuasi rupiah terhadap USD.