Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah kian mendekati level psikologis Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Pada pagi ini, Rabu (4/12/2024), rupiah dibuka melemah ke posisi Rp15.963 per dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka pada perdagangan dengan turun 0,11% atau 18 poin ke posisi Rp15.963 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar terlihat menguat 0,08% ke posisi 106,402.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS pada Rabu (4/12/2024).
Won Korea menguat 0,91% setelah anjlok 2,9% pada perdagangan sebelumnya. Pergerakan won merespons kisruh darurat militer di Korea Selatan yang diumumkan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol pada Selasa malam waktu setempat. Namun, beberapa jam setelahnya, keputusan darurat militer dibatalkan oleh Yoon sesuai mandat parlemen Korea Selatan.
Senada, yen Jepang juga melemah 0,23%, Singapura melemah sebesar 0,07%, dan baht Thailand melemah 0,07% dihadapan dolar AS.
Adapun, mata uang yang menguat di antaranya, yuan China menguat 0,08%, ringgit Malaysia menguat 0,03%, peso Filipina menguat 0,30%, dolar Taiwan menguat sebesar 0,16%, dan rupee India menguat 0,01%. Lalu dolar Hong Kong stagnan 0,00%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi sebelumnya memprediksi bahwa hari ini (4/12), mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif tetapi berpotensi ditutup melemah di rentang Rp15.930-Rp16.010 per dolar AS.
Adapun pada perdagangan kemarin (3/12) mata uang rupiah ditutup melemah 40 poin ke level Rp15.945 dari penutupan sebelumnya melemah 55 poin ke level Rp15.905.
Ibrahim mengatakan bahwa sejumlah pejabat Fed akan berpidato dalam beberapa hari mendatang, terutama Ketua Jerome Powell. Pidatonya disampaikan hanya beberapa pekan sebelum pertemuan terakhir Fed pada tahun ini, ketika bank sentral secara luas diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin.
Dia mengatakan bahwa ketidakpastian tumbuh atas prospek jangka panjang untuk suku bunga, terutama mengingat tanda-tanda inflasi yang kuat dan ketahanan di pasar tenaga kerja. Data penggajian nonpertanian untuk November akan dirilis Jumat ini dan secara luas diharapkan menjadi faktor dalam prospek Fed terhadap suku bunga.
Gubernur Federal Reserve Christopher Waller, mengatakan bahwa dia cenderung mendukung pemangkasan suku bunga lagi pada bulan ini, tetapi Presiden Federal Reserve Atlanta Raphael Bostic menyatakan bahwa The Fed masih perlu mempertimbangkan data pekerjaan yang akan datang.
Lebih lanjut, Ibrahim mengatakan prospek jangka panjang untuk suku bunga juga dibayangi oleh ketidakpastian atas pemerintahan Donald Trump.
"Trump secara luas diperkirakan akan memberlakukan kebijakan ekspansif dan proteksionis, yang dapat mendukung suku bunga dan inflasi," katanya dalam keterangan resmi, Selasa (3/12/2024).
Kemudian dia menyatakan bahwa pembacaan aktivitas bisnis yang positif dari China, yang menunjukkan langkah-langkah stimulus terbaru dari Beijing membuahkan hasil.
Meski begitu, menurutnya para pedagang menunggu lebih banyak isyarat tentang China dari dua pertemuan politik utama pada Desember ini. Memburuknya hubungan perdagangan antara AS dan China juga diperkirakan berpotensi merusak ekonomi China, sehingga mengurangi minatnya terhadap komoditas.