Bisnis.com, JAKARTA - Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) sedang memasuki siklus penguatan. Sejak awal 2024, beberapa mata uang, seperti yen Jepang melemah 8% terhadap dolar AS, won Korea Selatan (Korsel) 5,5%, dolar Australia 4,4%, Euro 2,8% termasuk rupiah sampai Juli 2024, melemah hampir 10% secara tahunan terhadap dolar AS.
Siklus penguatan dolar AS berlangsung sejak Mei 2022. Hal ini dapat diamati pada indeks dolar AS lebih besar 100, nilai tertinggi 114,22 pada 17 Oktober 2022. Artinya, dolar AS menguat 14,22% terhadap mata uang advance economies (AEs) dan selanjutnya terhadap mata uang emerging market and developing economies (EMDEs).
Fenomena penguatan dolar AS sejalan dengan Goldman Sach dalam artikel berjudul: “Why the US dollar is likely to stay stronger for longer” yang menyimpulkan bahwa penguatan dolar AS dalam 5 bulan terakhir akan berlanjut hingga akhir 2024 (www.goldmansach.com, 6/6).
SIKULS DOLAR AS
Siklus dolar AS sejak 1980-an hingga saat ini berfluktuasi dari waktu ke waktu. Di mana pelemahan dolar AS paling ekstrem terjadi pada 16 Maret 2008 dengan indeks dolar AS mencapai titik terendah 70,70.
Mata uang dolar AS melemah 29,30% terhadap mata uang AEs dan EMDEs yang dipicu oleh quantitative easing (QE) The Fed yang menggelontorkan triliunan dolar AS ke pasar sehingga membuat dolar AS sangat likuid.
Pada ekstrem lain terjadi pada tahun 1980-an, nilai indeks dolar AS saat itu mencapai titik tertinggi, yaitu 164,72. Hal ini menunjukkan bahwa dolar AS menguat 64,72% terhadap mata uang AEs dan EMDEs.
Baca Juga
Bahkan, siklus penguatan dolar AS pada era 1980-an melahirkan The Plaza Accord, yaitu kesepakatan tiga negara, dalam hal ini AS, Jepang, dan Jerman di hotel Plaza, New York City, AS untuk menahan laju apresiasi dolar AS.
Apresiasi ekstrem dolar AS dipicu oleh kebijakan The Fed menaikkan Federal Fund Rate (FFR) hingga 22,36% dalam rangka menurunkan inflasi yang mencapai 11,83%. Kebijakan ini dikenal dengan Volcker disinflation policy yang menyebabkan mata uang AEs dan EMDEs melemah ekstrem.
Saat itu, terjadi krisis nilai tukar di beberapa negara Amerika Latin, seperti Argentina, Brasil, Chile dan juga Meksiko. Krisis ini terkenal dengan first generation of currency crisis atau krisis nilai tukar generasi pertama.
OPSI KEBIJAKAN
Fakta-fakta di atas sejalan dengan pandangan dua ekonom yaitu Maurice Obstfeld dari University of California, Berkley dan Haonan Zhou dari Princeton University pada 2022, dalam tulisannya berjudul The Global Dollar Cycle.
Keduanya berpandangan bahwa siklus dolar AS dipengaruhi secara endogen oleh perubahan kebijakan moneter AS, persepsi resiko investor global terhadap aset keuangan suatu negara, dan fluktuasi dolar AS.
Konsep global dollar cycle (GDC) menghubungkan antara perubahan kebijakan moneter AS dengan sentimen investor global terhadap risiko memegang aset keuangan suatu negara. Konsep ini menunjukkan bahwa jalur pasar uang lebih dominan dalam menjalarkan tekanan eksternal antarnegara dibandingkan jalur perdagangan.
Akibatnya, penguatan dolar AS selalu merugikan negara AEs dan EMDEs karena berdampak pada penurunan konsumsi, investasi, permintaan kredit, terms of trade (ToT), dan peningkatan beban bunga pinjaman dalam dolar AS. Penguatan dolar AS sebesar 10% terhadap mata uang AEs dan EMDEs menyebabkan pelambatan pertumbuhan ekonomi EMDEs sebesar 1,9% dan AEs sebesar 0,6%.
Opsi kebijakan pertama bagi Indonesia adalah tetap pada rezim nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate regim), di mana dampak tekanan eksternal terhadap rupiah berupa pengetatan kebijakan moneter AS melalui kenaikan FFR, langsung dinetralkan oleh adanya depresiasi nilai tukar rupiah per dolar AS.
Kebijakan harus disertai penerapan inflation targeting framework secara penuh untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan kredibilitas institusi BI. Pengalaman krisis keuangan Asia, rezim nilai tukar tetap tanpa inflation targeting framework berdampak negatif sangat luas terhadap perekonomian nasional.
Merujuk pada Obstfeld dan Zhou (2022), mengutak-atik suku bunga acuan bukan pilihan kebijakan moneter yang baik. Menaikkan bunga acuan akan berdampak makin kontraktif dan meningkatkan premi resiko suatu negara. Hal ini sejalan dengan kondisi Indonesia mengingat inflasi nasional masih sesuai target BI.
Berdasarkan konsep GDC, siklus dolar AS sangat dipengaruhi oleh sentimen resiko investor global membuat opsi macroprudential policy menjadi pilihan, salah satunya membatasi pertumbuhan utang dalam dolar AS yang tidak di-hedging, termasuk mengurangi risiko spesifik terhadap perekonomian nasional yang disebabkan oleh kelemahan institusi.
Akhirnya, untuk mengurangi tingkat sensitivitas aliran modal keluar akibat perubahan kebijakan moneter AS, perlu dilakukan peningkatan kualitas institusi yang fokus pada perbaikan tranparansi, governance, akuntabiitas, mengurangi korupsi, integritas kelembagaan dan kualitas birokrasi.