Bisnis.com, JAKARTA - Aksi merger atau penggabungan usaha cukup banyak terjadi pada 2023 lalu. Di sisi lain, isu merger Grup GOTO Gojek-Grab dan EXCL-FREN kembali mencuat di awal tahun 2024.
Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi melihat isu-isu potensi terjadinya merger beberapa emiten di Indonesia masih kencang dari berbagai sektor. Isu pertama adalah merger antara BTN Syariah dan bank muamalat.
Hal ini mencuat setelah POJK No. 12 Tahun 2023 menyebutkan perbankan yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) dengan aset lebih dari Rp50 triliun, maka wajib melakukan pemisahan.
"Sehingga muncul wacana merger antara BTN Syariah dengan Bank Muamalat yang masing-masing memiliki aset mencapai Rp48,41 triliun dan Rp66,2 triliun per 9 bulan 2023," kata Audi, dikutip Minggu (25/2/2024).
Isu kedua, lanjutnya, datang dari telekomunikasi. Menurut Audi penguatan penetrasi teknologi 5G dan penguatan pasar mendorong potensi merger antara Grup Sinarmas PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN), dengan PT XL Axiata Tbk. (EXCL).
Menurutnya, isu ini telah dia dengar sejak beberapa waktu lalu dan berpotensi berdampak positif pada lini bisnis jika tergabung. Audi mencatat sampai di semester I/2023, FREN memiliki 46.000 BTS dan XL memiliki 150.261 BTS, sehingga dapat mendekati BTS yang dimiliki Telkomsel.
Baca Juga
Sementara itu, isu ketiga datang dari raksasa teknologi, yakni Grup GOTO, Gojek yang berpotensi merger dengan Grab. Pihaknya melihat jika merger ini terjadi, maka Grab dan GOTO akan semakin meninggalkan jauh pesaing lainnya, ditambah dengan aset dan modal yang masing-masing jumbo.
Adapun ke depan, dia melihat melihat aksi merger paling banyak berpotensi terjadi pada sektor perbankan.
"Karena selain adanya peraturan dari regulator, adanya juga peningkatan nilai buku perbankan dan juga dalam mengakuisisi lini bisnis," ucapnya.
Dia melanjutkan peluang aksi merger yang berpotensi terjadi sangat menarik, karena adanya penguatan lini bisnis dan pasar. Meski demikian, lanjutnya, tantangan bagi merger saat ini masih tinggi dikarenakan ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi di tengah suku bunga tinggi.