Bisnis.com, JAKARTA — Pasar obligasi korporasi sepanjang tahun berjalan relatif masih landai dengan nilai outstanding atau jumlah seluruh obligasi yang beredar di pasar modal kurang dari 10% terhadap angka penyaluran kredit bank.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat pada pekan lalu, Jumat, (13/10/2023) total emisi obligasi dan sukuk sepanjang tahun 2023 sebanyak 93 emisi dari 55 emiten senilai Rp98,2 triliun.
Dengan pencatatan tersebut, total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI berjumlah 535 emisi dari 127 emiten, dengan outstanding Rp452,74 triliun dan US$69,05 juta.
Kendati demikian, nilai outstanding obligasi Rp452,74 triliun tersebut masih kurang dari 10% terhadap nilai penyaluran kredit bank sebesar Rp6.739,4 triliun per Agustus 2023.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual mengatakan, salah satu penyebab landainya pasar obligasi korporasi yaitu karena berbagai perusahaan lebih banyak yang mengandalkan perbankan untuk mencari dana, karena relatif lebih mudah dalam beberapa aspek.
"Dari sisi imbal hasil, kemudahan administratif untuk menerbitkan, lalu juga minat investor ya, banyak faktor sebenarnya. Akses masyarakat ke pasar modal mungkin ini juga jadi persoalan, karena kalau dari sisi jangkauan, perbankan lebih luas jangkauannya," ujar David kepada Bisnis, Rabu, (18/10/2023).
Baca Juga
Selain itu, salah satu faktor pasar obligasi korporasi landai disebabkan daya tarik pasar surat berharga negara (SBN) yang lebih tinggi bagi investor karena lebih likuid dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
"Persoalannya memang di obligasi korporasi ini dari sisi likuiditas. Berbeda dengan surat berharga negara, yang memang perdagangan di pasar sekundernya lebih likuid dibandingkan obligasi korporasi," jelasnya.
Oleh sebab itu, David mengatakan untuk mendorong penerbitan obligasi korporasi, pemerintah perlu membuat kebijakan khusus yang juga dapat meningkatkan likuiditas surat utang korporasi.
"Di obligasi korporasi mungkin perlu ada insentif juga, ya. Termasuk juga dari sisi fiskal juga bisa saja diberikan insentif supaya menarik buat investor. Dan dari sisi likuiditas memang secara komparasi relatif masih kurang dibandingkan negara-negara lain untuk pasar obligasi korporasi," kata David.
Menurutnya, diperlukan juga peran dari otoritas pasar modal untuk mengembangkan dan menggencarkan sosialisasi agar masyarakat awam lebih banyak yang mengetahui terkait instrumen obligasi.
Tak hanya itu, dia bilang perlu dibuka peluang untuk pelaku di pasar modal agar lebih kreatif dan inovatif menghasilkan produk-produk instrumen keuangan yang berkaitan dengan obligasi korporasi.
Namun perlu diingat, pasar obligasi korporasi tak lepas dari peringkat atau rating yang dimiliki oleh perusahaan penerbit obligasi. Perusahaan dengan rating baik akan lebih mendapatkan kepercayaan dari investor, begitupun sebaliknya.
Adapun, rating perusahaan penerbit obligasi juga bergantung terhadap peringkat negara atau sovereign credit rating. Perlu diketahui, lembaga pemeringkat global Standard and Poor's (S&P) mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB dengan outlook stabil.
"Obligasi korporasi itu masih tergantung dengan sovereign rating. Jadi kalau sovereign rating kita masih BBB, peluangnya kecil sekali bagi perusahaan bisa mendapatkan lebih tinggi dari sovereign rating Indonesia. Jadi PR juga untuk pemerintah itu bagaimana mendorong supaya sovereign rating negara kita itu naik," pungkas David.