Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat pada perdagangan Kamis (5/10/2023). Saham-saham big caps seperti BBRI, ASII, BMRI, hingga TLKM terpantau bertengger di zona hijau.
IHSG menguat mengikuti bursa global lainnya, seperti Wall Street yang berbalik menguat. Pasar saham mendapat angin segar karena efek kejut obligasi AS mereda. Data terbaru ekonomi AS menekan peluang kenaikan suku bunga acuan The Fed pada FOMC 1 November 2023.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia pada pukul 09.00 WIB, IHSG dibuka menguat sebesar 0,14 persen menuju level 6.896,19. IHSG bahkan menembus level 6.900.
Sebanyak 136 saham menguat, 84 saham melemah, dan 244 saham bergerak di tempat. Adapun kapitalisasi pasar mencapai Rp10.282,98 triliun.
Dari jajaran big caps, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) memimpin lewat kenaikan 0,48 persen menuju level Rp5.275. Posisi ini disusul PT Astra International Tbk. (ASII) yang naik 0,41 persen ke posisi Rp6.100.
Selain itu, saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) terpantau naik 0,41 persen menuju Rp6.150 per lembar, sementara saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) terapresiasi 0,26 persen menuju level Rp3.790.
Baca Juga
Adapun saham paling melesat atau top gainers pada pembukaan perdagangan hari ini dipimpin oleh saham JAWA yang naik 30,28 persen menuju Rp142, selanjutnya disusul saham MPRO menguat 11,11 persen ke level Rp4.000.
Saham paling boncos yang menghuni jajaran top losers adalah saham PDES yang anjlok 7,14 persen menuju Rp442, saham SMKM turun 5,22 persen menuju level Rp109, saham IDEA ambles 5,06 persen menuju Rp75, dan saham RELF turun 5 persen ke Rp38 per lembar.
Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan mengatakan secara teknikal IHSG masih berpeluang menguat meskipun terbatas, selama tidak tembus ke bawah 6.850. Adapun, level support IHSG pada hari ini berada di 6.790, sedangkan level pivot di 6.850 dan level resisten 6.910.
"IHSG membentuk lower-shadow panjang kemarin. Oleh sebab itu, IHSG berpeluang teknikal rebound ke kisaran 6.910 pada Kamis [5/10], selama bertahan di atas 6.850," ujar Valdy dalam risetnya, Kamis, (5/10/2023).
Menurutnya, nilai tukar rupiah pada hari ini juga diprediksi bisa menguat seiring ekspektasi penurunan US Treasury Yield.
Dia mengatakan, indeks dolar AS menguat sebesar 2,73 persen dalam sebulan terakhir, melanjutkan kecenderungan penguatan sejak pertengahan Juli 2023. Penguatan indeks dolar AS tersebut berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Rupiah melemah 2,23 persen pada periode yang sama.
Alhasil, kondisi tersebut diikuti kecenderungan net sell investor asing dari pasar modal Indonesia dengan akumulasi net sell investor asing yang mencapai Rp4 triliun dalam satu bulan terakhir.
Beralih ke sentimen global, indeks Nasdaq menguat 1,35 persen memimpin rebound indeks-indeks Wall Street pada Rabu (4/10). Rebound ini sejalan dengan penurunan US Bond Yield kemarin.
Kondisi ini dipicu oleh realisasi US ADP Employment Change yang turun signifikan ke 89.000 pada September 2023 dari 180.000 di Agustus 2023 dan penurunan ISM Services PMI ke 53,6 di September 2023 dari 54,5 pada Agustus 2023.
Suku Bunga The Fed
Menurut Valdy, data terbaru ekonomi AS tersebut menekan peluang kenaikan suku bunga acuan The Fed pada FOMC 1 November 2023 menjadi 18,20 persen dari sebelumnya di kisaran 30 persen.
Sebaliknya, mayoritas indeks di Eropa ditutup melemah pada Rabu (4/10). Penurunan dipicu oleh penurunan penjualan ritel di Euro Area sebesar 2,1 persen year-on-year (yoy) pada Agustus 2023 dibanding penurunan sebesar 1 persen yoy pada Juli 2023.
Faktor lainnya adalah pernyataan Wakil Presiden European Central Bank (ECB), Luis de Guindos bahwa aktivitas ekonomi di Euro Area kemungkinan akan tetap lemah dalam beberapa bulan kedepan (4/10).
Dipicu peningkatan risiko ketidakpastian tersebut, harga komoditas terutama minyak bumi melemah signifikan kemarin. Harga brent oil melemah 5,6 persen ke US$85,81 per barel, sementara harga crude oil melemah 5,6 persen ke US$84,22 per barel kemarin.
Obligasi AS
Efek kejut terhadap pasar keuangan global akibat aksi jual obligasi Amerika Serikat (AS) atau Treasury AS masih terasa, meskipun imbal hasil instrumen obligasi pemerintah AS tersebut telah turun dari level tertingginya dalam 16 tahun terakhir.
Berdasarkan data Bloomberg, Kamis (5/10/2023), imbal hasil Treasury AS dengan tenor 10 tahun yang menjadi tolok ukur global turun 7 basis poin di posisi 4,72 persen, setelah menyentuh level 4,88 persen, level tertingginya sejak tahun 2007.
Sementara itu, imbal hasil Treasury AS tenor 30 tahun turun ke posisi 4,861 persen dari level 5 persen yang dicapai pada perdagangan Rabu.
Meskipun aksi jual mereda di AS, para pelaku pasar masih waspada terhadap era kebijakan moneter ketat yang diperpanjang. Ketatnya kebijakan moneter AS menuntut kompensasi yang lebih tinggi bagi pada pemegang surat utang pemerintah dengan tenor panjang.
"Imbal hasil obligasi AS yang berada di level tertinggi untuk tahun ini mulai terlihat mengganggu area dan sektor lain," ungkap kepala riset pendapatan tetap global di HSBC Holdings Plc Steven Major, seperti dikutip Bloomberg, Kamis (5/10/2023).
Aksi jual tersebut terjadi karena pejabat Bank Sentral Eropa (ECB) dan Federal Reserve semakin memperjelas bahwa mereka tidak mungkin melonggarkan kebijakan dalam waktu dekat, dan diperparah oleh kekhawatiran atas membengkaknya defisit pemerintah dan peningkatan pasokan obligasi.
Aksi jual di AS juga merembet ke pasar obligasi global. Imbal hasil pemerintah Jerman bertenor 10 tahun sempat melonjak di atas 3 persen untuk pertama kalinya sejak tahun 2011, sebelum turun ke level 2,928 persen pada Rabu. Imbal hasil obligasi bertenor 30 tahun juga sempat naik ke level tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Bahkan imbal hasil obligasi Jepang bertenor 10 tahun, yang dibatasi oleh Bank of Japan (BOJ), naik 4,5 basis poin ke level tertinggi dalam satu dekade terakhir meskipun BOJ menawarkan untuk membeli obligasi senilai US$4,5 miliar pada hari Rabu.
Tidak hanya pasar obligasi, pasar saham juga turut terdampak aksi jual ini. Di Asia, indeks Nikkei 225 Jepang anjlok 2,28 persen dan FTSE Straits Times Index Singapura juga melemah 1,41 persen. Di Eropa, indeks Stoxx 600 Europe turun tipis 0,14 persen, sedangkan indeks FTSE 100 Inggris turun 0,77 persen.
Di dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun 0,78 persen atau 54,31 poin ke level 6.886,57 pada perdagangan Rabu. Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah 54 poin atau 0,36 persen ke level Rp15.634 per dolar AS.