Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia mencatat nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 8,03 persen secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) per 19 Oktober 2022.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa tren pelemahan rupiah yang berlanjut disebabkan oleh penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global.
“Indeks Dolar AS tertinggi mencapai 114,76 pada 28 September 2022 dan 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mengalami penguatan, apresiasi sebesar 18,1 persen secara year-to-date selama 2022,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (20/10/2022).
Perry menjelaskan, pelemahan mata uang banyak negara utamanya disebabkan oleh kebijakan moneter yang lebih agresif, terutama oleh the Fed, bank sentral AS, guna merespons laju inflasi yang masih tinggi.
Meski demikian, Perry mengatakan tingkat depresiasi nilai tukar rupiah masih terjaga dan lebih rendah jika dibandingkan dengan sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India yang mencatatkan depresiasi sebesar 10,42 persen, Malaysia 11,75 persen, dan Thailand sebesar 12,55 persen.
Perry menyampaikan, ke depan BI akan terus mencermati pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi sesuai bekerjanya mekanisme pasar dan fundamentalnya.
Baca Juga
Kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah juga akan diarahkan untuk menjaga tingkat imported inflation, serta stabilitas makroekonomi domestik.
Pada Rapat Dewan Gubernur Oktober 2022, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen.
Perry mengatakan, keputusan kenaikan tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi atau overshooting.
Kebijakan ini juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah yang disebabkan oleh penguatan dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.