Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai larangan ekspor komoditas pangan di sejumlah negara di Asia juga simultan terhadap pergerakan obligasi korporasi yang bergerak di bidang pangan di Tanah Air.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menjelaskan dari sisi korporasi, potensi krisis pangan diperkirakan menekan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pangan, terutama yang butuh melakukan impor dalam proses produksinya.
“Pergerakan obligasi dari salah satu perusahaan tersebut memang terlihat mengalami pergerakan yang simultan terhadap harga gandum global, di mana yield dari obligasi korporasi tersebut meningkat tajam ketika perang Rusia Ukraina pecah,” papar Josua kepada Bisnis, Senin (30/5/2022).
Sebelumnya, pada Sabtu (28/5/2022), Bloomberg melansir India akan melarang ekspor gula untuk mengamankan pasokan domestik. Hal ini menyusul sikap proteksionisme terhadap larangan ekspor gandum sebelumnya.
Selain itu, Malaysia juga mengumumkan larangan ekspor ayam, sehingga menyebabkan kekhawatiran di Singapura yang mengonsumsi sepertiga pasokannya.
Ketatnya pasokan pangan di Asia juga ditambah dari pembatasan penjualan minyak sawit oleh Indonesia.
Baca Juga
Invasi Rusia ke Ukraina dan lockdown di China menjadi krisis ganda yang menyentak dunia yang dalam masa pemulihan. Hal itu ditambah dengan inflasi yang memburuk dan melukai pertumbuhan, menurut penelitian baru dari Bloomberg Economics.
Selain dari krisis pangan tersebut, Josua bahwa pelemahan obligasi korporasi dalam dua bulan terakhir cenderung didorong oleh sentimen hawkish dari The Fed, yang kemudian mendorong peningkatan yield SBN secara umum.
“Peningkatan yield SBN ini kemudian ikut mendorong sebagian besar yield obligasi korporasi, sehingga tren masih cenderung turun,” jelas Josua.
Namun di tengah risiko The Fed dan juga konflik yang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina, Josua menilai obligasi korporasi domestik masih relatif menarik terutama dalam jangka pendek.
Hal tersebut akibat arah The Fed saat ini yang menurutnya sudah lebih jelas dibandingkan dengan sebelumnya. Ditambah lagi menurutnya sentimen risk-on saat ini sedang meningkat, dan mendorong penguatan rupiah secara umum.
“Bagi para investor, mulai meredanya gejolak di pasar keuangan dapat menjadi sentimen pendorong permintaan akan obligasi korporasi,” katanya.
Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa minat investor terhadap obligasi korporasi juga akan meningkat juga dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang meningkat pada saat ini.
Head of Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto, terkait dengan larangan ekspor pangan di beberapa negara di Asia tersebut melihat bahwa tindakan tersebut adalah upaya untuk melindungi negara masing-masing.
“Jadi kalau saya lihat sekarang itu salah satunya karena ketegangan geopolitik ini memicu inflasi dan akhirnya banyak negara melindungi produknya, melindungi kepentingan dalam negerinya,” papar Ramdhan.
Namun dia melihat, untuk di domestik sendiri keadaan makro saat ini relatif stabil dan ditambah lagi yang menurutnya menjadi kelebihan di Indonesia saat ini adalah likuiditas yang menurutnya sangat baik.
Di mana mulai dari pandemi Covid-19 hingga saat ini penguatan pasar berasal dari domestik, sehingga tidak akan terlalu berpengaruh pada minat investor terhadap obligasi korporasi.