Realisasi pendapatan negara hingga Februari 2022 mencapai Rp302,4 triliun atau tumbuh 37,7% year-on-year (YoY) atau setara dengan 16,4% dari target APBN 2022. Hal ini ditunjang oleh penerimaan pajak sebesar Rp199,4 triliun atau tumbuh 36,5% (YoY), penerimaan bea dan cukai Rp56,7 triliun tumbuh 59,3% (YoY), dan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp46,2 triliun tumbuh 22,5% (YoY).
Di satu sisi, kami melihat realisasi penerimaan pajak yang tumbuh ekspansif menggambarkan pulihnya permintaan dalam negeri, apalagi Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) selalu berada di zona ekspansi (di atas 100) sejak Oktober 2021. Bahkan jika dirunut lebih lanjut, ekspansifnya konsumsi terjadi pada semua kelompok pendapatan masyarakat yang terakhir kali terlihat pada Maret 2020 atau saat pre-pandemi di Indonesia.
Di sisi lain, peningkatan penerimaan bea keluar yang tumbuh 176,8% dan mencapai Rp6,6 triliun turut mengindikasikan comparative advantage yang didapat Indonesia di tengah harga komoditas global yang tinggi. Hal ini turut dikonfirmasi oleh surplus neraca dagang Februari 2022 yang mencapai US$3,83 miliar, sehingga mencatatkan surplus 22 bulan secara berturut-turut, yang ditopang oleh produk minyak dan gas serta industri pertambangan (khususnya batu bara dan tembaga).
Kondisi ini turut menjaga cadangan devisa tetap positif mencapai US$141,4 miliar. Dengan catatan bahkan BI melakukan operasi pasar terbuka Rp72,72 triliun atau setara US$5,07 miliar (kurs Rp14.349 per US$) selama Februari. Kami berasumsi bahwa surplus neraca dagang akan menjadi salah satu kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri, disesuaikan dengan dampak positif yang ditimbulkan oleh jalur perdagangan terhadap aspek-aspek lainnya yang terkait.
Sebaliknya, realisasi belanja negara mencapai Rp282,7 triliun atau terkontraksi 4,1% (YoY), di mana penurunan terbesar dari realisasi PC-PEN hingga 25 Maret yang baru mencapai Rp22,6 triliun (dari pagu Rp455,6 triliun). Bandingkan dengan realisasi hingga 12 Maret 2021 yang telah mencapai Rp35,7 triliun.
Hal yang selanjutnya memberikan pertanyaan akan efektivitas sektor belanja negara guna mendorong pemulihan ekonomi, sekaligus memperlihatkan kehati-hatian pemerintah dalam mengalokasikan anggaran.
Walaupun begitu, realisasi anggaran perlindungan sosial, khususnya penyaluran subsidi energi dan penyaluran bantuan sosial turut berimbas positif bagi daya beli masyarakat.
Begitu pun dengan realisasi anggaran perlindungan sosial yang mencapai Rp49,0 triliun selama Januari—Februari 2022. Di samping itu, realisasi anggaran pendidikan yang tumbuh 35,8% (YoY) patut diapresiasi.
Dengan kondisi diatas, surplus APBN Februari yang mencapai Rp19,7 triliun merupakan cerminan positif bagi ekonomi Indonesia di kuartal pertama 2022.
Kondisi itu berseberangan dibandingkan Februari 2021 yang defisit Rp63,3 triliun. Bahkan dengan asumsi harga komoditas yang diharapkan masih tinggi selama 2022, kemungkinan realisasi defisit APBN pada akhir 2022 lebih rendah dibandingkan target APBN sebesar 4,85% terhadap PDB.
Kondisi fiskal yang cukup baik di atas turut mendorong kebutuhan pendanaan dari penerbitan (issuance) SBN (Surat Berharga Negara) hanya Rp165,1 triliun selama 2 bulan pertama 2022, lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2021 yang mencapai Rp287,9 triliun. Selanjutnya diharapkan membuat yield SUN relatif terkendali di tengah rencana agresifnya The Fed yang turut disertai kenaikan yield UST (US-Treasury) di periode yang sama.
Sebagai perbandingan, kenaikan yield UST tenor 12 bulan, 2 tahun, 5 tahun dan 10 tahun sejak awal tahun hingga 25 Maret telah mencapai 126 bps (basis points), 154 bps, 128 bps, 96 bps dan 68 bps secara berturut-turut.
Sementara yield SBN dengan tenor dan periode yang sama relatif lebih terjaga, bahkan untuk tenor 1 tahun mengalami penurunan 11 bps, sementara kenaikan tenor 2 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun hanya sebesar 23 bps, 49 bps dan 32 bps secara berurut-turut.
Di saat yang sama, kenaikan yield UST tenor pendek yang lebih besar turut membuat yield curve UST berbentuk inverted. Hal ini seiring dengan probabilitas Fed Rate yang diekspektasikan meningkat oleh pasar, bahkan per 29 Februari diekspektasikan bisa berada di median 2,75% di akhir 2022. Walaupun terminal Fed Rate jangka panjang hanya 2,50%, menambah kekhawatiran kemungkinan risiko resesi global di 1 atau 2 tahun mendatang.
Hal ini seiring dengan kondisi sejarah yang memperlihatkan probabilitas resesi bila terjadi inverted yield curve UST, baik antara tenor 30 tahun dengan 5 tahun, tenor 10 tahun dengan 2 tahun ataupun tenor 10 tahun dengan 3 bulan.
Hal yang juga telah meningkatkan risiko flight to quality dan peningkatan cost of fund global sehingga tidak mengherankan bila kepemilikan Asing di tradable SBN berkurang Rp32,1 triliun dari 1—25 Maret, bahkan di saat inflow asing di pasar saham meningkat Rp5,6 triliun.
Selain itu, tensi Rusia-Ukraina di satu sisi mendorong kenaikan harga komoditas, tetapi di sisi lain dikhawatirkan mendorong persepsi risiko global meningkat. Bahkan persepsi risiko Indonesia yang digambarkan CDS-5Yr Indonesia melonjak ke 125,6, tertinggi di tahun ini pada 7 Maret, di saat tidak ada data ekonomi domestik yang signifikan. Bahkan lebih didorong sanksi yang membuat Rubel anjlok 20% dalam sehari dan kekhawatiran default terhadap US$1,3 Miliar Gazprom di hari tersebut.
Karenanya kami memandang kondisi fundamental domestik saat ini sangat baik, tetapi kewaspadaan terhadap risiko global tetap perlu dilakukan.